Pemuda bandel dan nyeleneh ini jadi guru tarekat di usia muda. Ia pun berhasil mendirikan dan mengembangkan pesantren di Kota Surabaya. Padahal belajarnya di pondok tidak tertib.
KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi adalah mursyid (guru pembimbing) Tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah (TQN). Ulama yang punya tutur kata lembut ini pendiri Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah di Kedinding Lor, Kenjeran, Kota Surabaya. Ia lahir pada 17 Agustus 1951. Ayahnya bernama K.H. Utsman Al-Ishaqi. Penisbahan Al-Ishaqi berasal dari Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri. Melalui jalur Maulana Ishaq pula, silsilah Kiai Asrori terhubung sampai Rasulullah Muhammad s.a.w.
Sebelum wafat tahun 1984, Kiai Utsman menunjuk Asrori sebagai penggantinya. Ketika dibaiat menjadi mursyid TQN, Asrori berusia 30 tahun. Usia yang dinilai terlalu muda sebagai mursyid. Namun, berkat kecerdasan dan ketawadhuannya (rendah hati), ia berhasil menjalankan perannya sebagai guru tarekat paling populer di Nusantara itu.
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Setelah memegang posisi mursyid dan melanjutkan aktivitas pengajian di Jatipurwo, Surabaya, Kiai Asrori hanya menerima beberapa anak yang dititipkan jamaah pengajian tarekat untuk belajar agama. Ia kemudian berinisiatif memindahkan aktivitas tarekatnya ke Kedinding Lor pada 1985, yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren Al-Fithrah.
Pesantren Al-Fithrah terus berkembang. Kini telah menempati lahan seluas tiga hektar. Dengan jumlah santri lebih dari 3.000 orang, Al-Fithrah kini mengelola semua jenjang pendidikan, mulai dari Taman Kanak-kanak(TK), Madrasah Ibtidaiyah, Aliyah Muadalah, Ma’had Aly, Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ), hingga Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Fithrah. Selain untuk sarana pendidikan, pesantren tersebut sering digunakan sebagai tempat untuk menggelar acara besar tarekat, seperti haul akbar yang dihadiri ribuan pengikut TQN.
Semasa muda, Kiai Asrori dikenal bandel dan agak nyeleneh. Boleh dibilang, ia hampir tak pernah menyelesaikan setiap jenjang pendidikannya. Di Sekolah Dasar, ia hanya sampai di kelas dua. Setelah itu, ia memilih belajar di pondok. Paling tidak ia pernah belajar setidaknya di tujuh pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk nyantri tiga bulan di Mekah. Namun di semua pesantren itu, Asrori tak pernah belajar dalam waktu yang lama, apalagi sampai tamat. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun.
Ketika mondok di Rejoso ia justru tidak aktif mengikuti kegiatan pengajian. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Musta’in Romly seperti memaklumi. Anak macan akhirnya menjadi macan juga, demikian dikatakan Kiai Musta’in. Meskipun belajarnya tidak tertib, Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam Ghazali dengan baik.
Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah disampaikan, ingin mengaji kepadanya, jika bukan ayahnya. Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Asrori sebagai penerus kemursyidan TQN, bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua.
Kiai Ahmad Asrori Al-Ishaqi wafat pada 18 Agustus 2009, dalam usia 58 tahun