Bismillahir rahmanir rahim
Dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang (Q. 1:1)
“Alhamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin adalah induk Alquran. Induk Al-Kitab. Tujuh (ayat) yang diulang-ulang. Dan Alquran yang Agung.” Demikian Rasulullah memberi tahu kita nama-nama lain dari surah Al-Fatihah, seperti yang dituturkan Abu Hurairah r.a. dalam hadis riwayat Tirmidzi (Tafsir Ibnu Katsir, I:8). Dan surah yang mulia itu, yang sebutannya dalam sabda Nabi tersebut diwakili oleh alhamdu lillahi rabbil ‘alami, dibuka dengan lafal yang tampaknya sederhana tetapi sungguh tidak ada bandingannya dalam perbendaharaan agama-agama. Yakni, Bismillahirrahmani rahim—“Dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Pengasih”. Tetapi apakah bismillahirrahmanirrahim?
Sebuah hadis dibawakan Ibn Mardawaih dari sumber pertama Abu Sa’id r.a. Ini mengantarkan sabda Rasulullah Saw: “Isa anak Maryam dahulu diserahkan ibundanya kepada para ahli tulis-menulis untuk diajar. Maka berkatalah si pengajar, ‘Tulislah’.
‘Tulis apa?’ tanya Isa.
‘Bismillah,’ jawabnya.
‘Apa itu bismillah?’
‘Saya tidak tahu’, jawab si guru.
Lalu kata ‘Isa: ‘Huruf ba’ itu baha-ullah (keelokan Allah). Huruf sin menunjukan sana’ (kecemerlangan)-Nya. Mim adalah mamlakah (kerajaan)-Nya. Allah adalah tuhan segala tuhan. Rahman adalah rahman dunia dan akhirat. Rahim adalah rahim akhirat’.”
Itu diriwayatkan juga oleh Ibn Jarir (wafat 310 H) dalam tafsirnya. Tetapi bagi Ibn Katsir (w.774 H), “Ini betul-betul gharib (jenis hadis yang ‘aneh’). Bisa jadi juga sahih rangkaiannya sampai ke mata rantai Di bawah Rasulullah (tidak sampai kepada Nabi). Bisa juga ini termasuk israiliyyat (dongeng model Israil).”
Hadis lain juga riwayat Ibn Mardawaih, memuat penuturan Abu Buraidah dari ayahnya, yang menyatakan Nabi bersabda: “Diturunkan kepadaku suatu ayat yang tidak diturunkan kepada nabi manapun selain Sulaiman putra Dawud dan aku. Yaitu, Bismillahirrahmanirrahim.” (Ibn Katsir, I:17).
Begitulah halnya, sehingga tidak mengherankan bila basmalah (lafal bismillah) diajarkan untuk diucapkan di awal semua perbuatan dan perkataan, asal bukan yang haram atau makruh (tidak disukai). Dan dengan menyebut nama Allah, kita menyandarkan segala aktivitas kita kepada Allah. “Segala bangsa tahu, begitu juga orang Arab,” Kata Syekh Muhammad ‘Abduh (Rasyid Ridha, Tafsirul Manar), “bahwa kalau seseorang bermaksud berbuat sesuatu untuk seorang amir atau orang besar… ia akan berkata, “Aku melakukannya dengan nama si anu… kalau bukan karena dia, aku tidak mengerjakannya’.” Karena itu makna “aku memulai pekerjakaanku dengan Nama Allah, Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih” adalah bahwa “aku memperbuatnya dengan perintahnya, untuk Dia, bukan untukku, bukan melakukannya dengan namaku sendiri secara merdeka.”
Terdapat juga aspek lain—yaitu bahwa kodrat (kemampuan) yang menumbuhkan perbuatan itu datang dari Allah Ta’ala. “Kalaulah Dia tidak menganugerahiku sedikit dari kodrat itu, tidak mungkin aku berbuat apa pun. “Sedangkan makna basmalah dalam Fatihah yaitu bahwa semua yang ditetapkan dalam AlQuran, hukum-hukum, ayat-ayat, dan lain-lainnya, adalah milik Allah, dari Allah, tanpa ada satu pun di situ selain Allah yang mempunyai peran apa pun.” (Rasyid Ridha, I:43-44). Bersambung
Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sumber: Panjimas, 16-29 Oktober 2002