Ummu Al-Fadhl sedang menimang-nimang bayinya. Kebetulan ia berpapasan dengan Rasulullah s.a.w. Rasul pun mengambil bayi Ummu Al-Fadhl, dan menggendongnya. Tiba-tiba bayi itu pipis. Dan spontan Ummu Al-Fadhl mengambil bayinya dengan agak kasar. Maka Nabi menegurnya: “Pakaian yang basah (kena air kencing) ini dapat dibersihkan dengan air. Tetapi apakah yang dapat menghilangkan kekeruhan dalam jiwa bayi ini akibat renggutanmu yang kasar itu?”
Peringatan Rasul terhadap Ummu Al-Fadhl itu dimaksudkan agar setiap orangtua tidak bertindak kasar terhadap anaknya, meskipun sebatas ucapan. Sebab, perlakuan yang demikian akan dirasakan dan akan melekat pada diri anak sepanjang hayatnya.
Memperlakukan anak dengan penuh kasih sayang, dalam pada itu, merupakan hal yang niscaya. Bahkan perlakuan semacam itu harus jauh sebelum terjadi reproduksi. Bahkan menurut para ahli psikolog, gejolak batin yang dialami pasangan suami istri ketika melakuan hubungan badan, atau ketika seorang istri sedang mengandung, dapat berakibat fatal terhadap kecerdasan anak. Maka tidak mengherankan jika Islam mengajarkan agar susasana kedamaian serta ketenangan lahir dan batin antara suami dan istri selalu dipelihara. Bahkan suami-istri dianjurkan untuk selalu berdoa sebelum melakukan aktivitas yag berhubungan dengan proses reproduksi.
Hal lainnya yang perlu diperhatikan oleh orangtua adalah soal nasihat dan keteladanan dalam menanamkan akhlak kepada anak. Urwah ibn Az-Zubair berkata, “Pilihlah kata-katamu yang baik, dan hendaklah wajahmu berseri-seri ketika menghadapi anak. Niscaya engkau lebih disenangi daripada orang yang memberi sesuatu pemberian kepada mereka.” Nasihat memang perlu dilakukan dengan tutur bahasa yang lembut dan bersahaja. Sedangkan keteladanan dpat dilakukan dengan pembiasaan dan tingkah laku sehari-hari orangtua. Di sini orangtua acapkali tidak menyadari bahwa yang ia ucapkan dan ia lakukan sebenarnya secara diam-diam telah direspons sekaligus dituru oleh anaknya.
Kesalahan dalam bertutur kata serta dalam memberi keteladanan, akan menmbulkan risiko yang serius bagi masa depan anak. Di antaranya anak akan terseret ke satu dunia yang bertentangan dengan nilai-nilai dan moral agama maupun norma-norma yang disepakati bersama. Fenomena ini jika dibiarkan akan menyebabkan anak akan mencari figur panutan yang menurut mereka lebih pantas untuk diteladani. Dan di sana pula mereka dapat menemukan jati diri dan sarana yang menurut mereka lebih memungkinkan untuk mencurahkan semua problem kehidupan. Di sinilah antara lain timbulnya ihwal “pengidolaan” seorang anak kepada para artis, kepada para pesohor – dan bukan kepada orangtua mereka.***
Penulis: Chairulil Fatih. Sumber: Panji Masyarakat, 8 November 2000.