Tasawuf

Wirid Hidayat Jati : Peluang Multi Tafsir

Peradaban Jawa dengan keberagamaannya bukanlah suatu proses yang terjadi seketika. Perlu waktu dan ada juga kekurangan serta kelemahan yang harus disempurnakan sambil jalan. Dalam hal penyebaran Islam di Jawa, hal itu  disebabkan antara lain oleh:

(1). Sikap kehati-hatian sehingga proses dakwah berlangsung menyusup halus, menggeser setapak demi setapak dan membungkus selapis demi selapis.

(2). Budaya dan media tulis apalagi cetak belum berkembang seperti sekarang, sehingga materi dakwah banyak yang dibawa serta diungkapkan secara lesan dan dikenal sebagai budaya tutur.  Materi dakwah pada umumnya disampaikan dari mulut ke mulut secara berantai dan turun-temurun, dengan akibat bisa berkurang atau bertambah dari aslinya.

Kedua hal itu membuka peluang timbulnya multi tafsir terutama pada masalah-masalah yang samar dan dianggap masih kurang lengkap oleh masyarakat Jawa yang sudah berperadaban cukup tinggi, yang pada saat itu sudah memiliki pengetahuan tentang kepercayaan dan agama lain khususnya Syiwa-Buddha. Materi ajaran yang banyak mengundang munculnya aneka penafsiran antara lain adalah yang bersinggungan dengan kehidupan spiritual, meditasi, masalah ruh, ketuhanan serta uraian tentang hidup dan kehidupan, kebetulan semua itu ada di dalam Serat Wirid Hidayat Jati, terutama mulai dari Wejangan Kedua sampai dengan Kedelapan.

Aneka tafsir, metode gothak-gathik-gathuk ala Jawa dan spekulasi yang bersifat kebatinan, mistik, spiritual bahkan klenik juga terjadi di sejumlah ajaran yang diuraikan dalam berbagai serat dan suluk. Uniknya, tafsir mistis dan klenik sesuai syahwat politik partisan, masih berkembang pula di zaman milenia sekarang ini, yang tidak jarang pengutipannya menyimpang dari teks asli, atau sengaja disimpangkan untuk tujuan pencitraan.

Akan halnya masalah-masalah yang samar, Prof Simuh mengutip pendapat ahli sejarah dan kebudayaan Prof.Poerbatjaraka sebagai berikut : “ Rupa-rupanya sudah menjadi adat dalam golongan klenik (ilmu kebatinan). Kaum klenik itu jika bersua dengan ‘kitab klenik’ yang samar-samar artinya malahan dianggap sangat indah dan murni. Bagi orang yang bukan ahli klenik, apalagi orang yang suka akan hal-hal yang nyata dan terang, apabila membaca kitab yang demikian, maka kesallah hatinya.”

Menurut Prof Simuh, dalam Wirid Hidayat Jati juga banyak istilah dan ungkapan yang samar ditafsirkan dengan pengertian yang menyimpang. Misalkan : ”ajaran Islam yang tafsirannya sengaja disesuaikan dengan pemahaman secara kejawen. Dalam Wirid Hidayat Jati diterangkan, ‘iya sajatine kang aran Allah iku badaningsun, Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku cahyaningsun.” (halaman 31 – 32).

Ketiga, satu pemahaman hakikat yang disepakati oleh masyarakat Jawa  penganut tasawuf , baik yang mengikuti faham manunggaling kawula Gusti versi al Halaj (dan Syeh Siti Jenar) maupun yang bukan, yaitu Gusti Allah Yang Maha Suci itu adalah Maha Hidup (Sing Urip), yang menghidupkan hamba-hamba dan makhluk-Nya (Sing Nggawe Urip), serta yang mengatur kehidupan hamba-hamba-NYa (Sing Nguripi). Keyakinan akan ketiga hal tentang hidup dan kehidupan ini harus ditanamkan secara kuat pada diri kita, membentuk sikap dan perilaku yang tawakal (berserah diri sepenuhnya kepada Gusti Allah dalam segala hal) dan tawadhu (rendah hati).

Maka manusia hidup harus rendah hati, jangan sombong, jangan angkuh dan jangan takabur, karena hidup dan kehidupan atau jalan hidup kita itu sangat tergantung pada Yang Maha Hidup. Kita sungguh tidak tahu kapan dan bagaimana Yang Maha Hidup akan menghentikan hidup kita; kapan hendak mencabut semua milik mulai dari kesehatan yang kita banggakan, kepandaian yang kita sombongkan, harta benda serta kekuasaan yang kita pamerkan dan sebagainya. Semua bisa terjadi dan berlangsung dalam sekejap. 

(Wirid Hidayat Jati: 8 dari 14, dalam Seri Tulisan “Orang Jawa Mencari Gusti Allah”).

About the author

Avatar photo

B.Wiwoho

Wartawan, praktisi komunikasi dan aktivis LSM. Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat (1996 – 2001, 2019 - sekarang), penulis 40 judul buku, baik sendiri maupun bersama teman. Beberapa bukunya antara lain; Bertasawuf di Zaman Edan, Mutiara Hikmah Puasa, Rumah Bagi Muslim-Indonesia dan Keturunan Tionghoa, Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Operasi Woyla, Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar, Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 serta Pancasila Jatidiri Bangsa.

Tinggalkan Komentar Anda