Betapa gawat dan bahayanya dengki itu. Saking bahayanya, dalam Alquran surah al-‘Alaq Nabi Muhammad Saw diperintahkan agar memohon kepada Tuhan dari cuaca pagi supaya terlindung dari kejahatan seorang pendengki.
Memang, di antara berbagai penyakit rohani, dengki atau hasad adalah salah satu yang paling berbahaya bagi kehidupan manusia. Kita disebut pendengki kepada seseorang jika kita, tanpa alasan yang jelas, apalagi alasan yang adil, serta merta merasa tak senang kepada segala kelebihan atau keutamaan yang dimilikinya. Kelebihan itu bisa bersifat kebendaan seperti kekayaan dan harta, juga bisa tidak bersifat kebendaan seperti kedudukan, kecakapan, dan lain-lain.
Jika kita menyimpan kedengkian kepada seseorang, biasanya selain kita membencinya, juga diam-diam dalam hati kita menginginkan orang itu celaka. Kalau sudah begitu, besar sekali kemungkinan kita—langsung atau tidak langsung—berusaha mencelakakannya. Bersamaan dengan itu, kita mungkin akan terdorong untuk melancarkan fitnah-fitnah atau berita-berita buruk yang tak benar atau palsu tentang orang tersebut.
Malangnya, fitnah semacam itu, bila diancarkan dengan gencar, biasanya sulit sekali dibendung. Posisi orang yang difitnah menjadi tak berdaya dan tak mampu membela diri. Sementara si pendengki itu mengetahui—malah mungkin mengamati—tingkah laku sasaran kedengkiannya. Namun tak demikian bagi yang dijadikan sasaran kedengkian itu. Dia tidak tahu, dan mustahil mengamati, tingkah laku si pendengki.
Jadi kedengkian adalah pertarungan sepihak, yaitu si pendengki menyerang sasarannya, tanpa sasaran itu mengetahuinya—apalagi sampai bisa mengelak dan melawan. Karena itu, kedengkian atau fitnah acap kali benar-benar mencelakakan atau menjatuhkan orang yang menjadi sasarannya. Maka tak heran bila Allah mengajari kita semua agar memohon perlindungan-Nya dari kejahatan pendengki.
Nabi Muhammad bersabda, “Jauhilah olehmu semua kedengkian, sebab kedengkian itu memakan segala kebaikan, sama seperti api memakan kayu bakar yang kering.” Peringatan Nabi ini jelas sekali bahwa jika mendengki seseorang, maka seluruh kebaikan habis dimakan oleh kedengkian. Karena dalam rasa dengki tersebut dengan sendirinya tersembunyi keinginan agar orang lain celaka, maka kedengkian merupakan bukti yang tandas sekali bahwa sesungguhnya kita tidak memiliki iktidak baik kepada orang lain atau sesama manusia secara tulus.
Dengan kata lain, adanya kedengkian meruapakan bukti amat nyata bagi kepalsuan semua perbuatan baik kita. Karena itu, seluruh perbuatan baik kita pun musnah, ibarat rumah kertas yang habis oleh api kedengkian kita sendiri. Sebab, apalah makna segala amal kebajikan, jika tidak dilandasi oleh iktikad kebaikan? Nabi pun menegaskan bahwa semua perbuatan tergantung kepada niatnya, yakni, dorongan batin dan iktikadnya.
Lebih jauh, selain dengki memang sangat merugikan dan membahayakan orang lain, juga dapat menjadi pangkal kesengsaraan orang bersangkutan sendiri. Dan, memang tak ada orang yang dengki yang tidak menanggung jenis kesengsaraan tertentu. Sebab perasaan benci kita kepada seseorang yang menjadi sasaran kedengkian kita ialah justru karena “kebahagiaan”orang yang bersangkutan.
Kebahagiaan—dalam tanda kutip—di atas juga masih menjadi pertanyaan: apakah betul orang yang menjadi sasaran kedengkian kita itu bahagia? Atau sesungguhnya kebahagiannya itu hanyalah ilusi kita, akibat merasa diri sendiri kurang bahagia sehingga membuat kita mempunyai gambaran terlalu besar tentang orang lain dan terlalu kecil tentang diri kita sendiri?
Itu berarti bahwa “kebahagiaan” orang lain itu hanyalah hasil refleksi atau pantulan kaca situasi batin kita sendiri yang merasa tidak bahagia. Ini agaknya sering diderita orang, seperti diisyaratkan oleh peribahasa Inggris, The grass over the fence always looks greener (Rumput di balik pagar sendiri selalu tampak lebih segar). Jika di balik, berarti rumput dalam pagar sendiri selalu tampak lebih layu.
Apa arti itu semua? Artinya, perasaan tak berdasar bahwa orang lain selalu lebih bahagia daripada kita sendiri paling tidak adalah akibat rasa rendah diri. Tapi dapat lebih gawat dari itu, yaitu akibat ketidakmampuan bersyukur kepada Allah atas semua karunia yang telah kita terima dari-Nya. Tegas dan ringkasnya, kedengkian itu sebagian sebagian akibat kufur kita akan karunia Allah, lalu kita melihat seolah-olah orang lain selalu mendapatkan karunia lebih dari kita.
Inilah pangkal kesengsaraan kaum pendengki. Maka, selain memohon kepada Allah perlindungan dari kejahatan pendengki, kita juga memohon agar kita sendiri terbebas dari kedengkian.***
Penulis: Prof. Dr. Nurcholish Madjid, pendiri dan rektor pertama Universitss Paramadina. Sumber: Panji Masyarakat, 18 Agustus 1999.