Perubahan memang konon tak pernah bisa dihindari, tapi melihat pesta perayaan malam tahun baru nyaris jadi tradisi bahkan di kota-kota kecil, sering membuat saya bertanya-tanya: begitu cepatkah perubahan simbol dan nilai budaya menerpa masyarakat kita?
Sebagian orang mungkin menganggapnya sebagai sesuatu yang tak terelakkan, sesuatu yang mau tak mau harus diterima sebagai bagian dari modernitas yang dengan sadar telah kita pilih.
Tahun 70-an, malam tahun baru masih dirayakan di tempat-tempat eksklusif dengan peserta terbatas; itupun cuma di kota-kota besar. Tahun 80-an, di beberapa kota besar mulai di buat tempat pertunjukkan umum untuk merayakannya. Meski belum meluas, tapi perayaan malam tahun bukan lagi eksklusif, tapi mulai melibatkan masyarakat yang lebih luas.
Bersamaan dengan menjamurnya TV swasta, akhir tahun 90-an perayaan malam tahun baru mulai merambah kota-kota kecil. Sejak itu, dari tahun ke tahun perayaan ini nyaris menjadi tradisi tahunan.
Dari sini, perayaan malam tahun baru mulai jadi simbol baru dalam kebudayaan kita. Orang tumpah di jalan-jalan. Deru suara motor, mobil dan tiupan terompet yang membisingkan telinga nyaris menyesaki udara kota sejak lepas maghrib sampai lewat tengah malam. Tepat di saat pergantian tahun, kebisingan ini ditimpali dengan suara mercon dan kembang api yang dilepaskan ke udara. Pesertanya bukan cuma warga setempat, tapi juga orang-orang dari desa-desa sekitar (baik dekat maupun jauh).
Sudah pasti fenomena semacam ini secara diametral berlawanan dengan semangat peringatan malam tahun baru dalam budaya-budaya Timur, tentu saja termasuk Indonesia. Perayaan malam tahun baru modern lebih menyeruakkan aroma pesta, sementara dalam budaya-budaya timur, malam tahun baru lebih ditekankan pada semangat refleksi, sehingga ekspresi lahiriahnya tampak lebih menciptakan suasana kesunyian.
Dalam kerangka budaya timur yang relatif kental dengan nilai keruhanian, peringatan malam tahun baru selalu menjadi momentum untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan pembersihan diri, menjalani laku prihatin untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan dan yang semacamnya.
Sementara perayaan tahun baru modern, yang dibawa oleh peradaban industrial, lebih menekankan pada nilai-nilai material, pada nilai-nilai badani. Ia menjadi bagian dari bangunan budaya yang berbasis badan, menjadi bagian dari pemujaan segala hal yang berbau badan.
Sirnanya warna perenungan dalam menyambut momentum datangnya tahun baru ini mungkin bisa dilihat sebagai salah satu indikasi mulai meredupnya budaya-budaya timur (termasuk Indonesia tentu saja), dan menunjukkan kedigdayaan kekuasaan budaya badan yang dibawa oleh peradaban industrial.
Tahun baru cuma salah satu contoh, banyak simbol dan tradisi budaya lain telah kita comot dan adopsi begitu saja, tanpa tahu konteks kulturalnya yang sebenarnya sangat lokal Amerika atau Eropa. Ada valentine, thanksgiving, halloween dan banyak lagi lainnya kini telah juga meruyak menjadi bagian dari bangunan budaya ‘baru’ kita.
Memang, kebudayaan akan selalu mengalir secara dinamis, termasuk dalam menyerap dan mengembangkan kebaruan; tapi pertanyaan yang selalu mengganggu adalah: apakah modernitas sama sebangun dengan adopsi membabi buta?
Seharusnya kenyataan ini menyadarkan kita, bahwa ada yang salah dalam pilihan dan arah kebudayaan yang sedang kita bangun. Kebudayaan kita semakin membadan dan kehilangan kedigdayaan nilai-nilai ruhaniahnya.
