Ads
Cakrawala

Introspeksi di Tengah Kesemarakan Beragama

Masjid-masjid bertumbuhan bagai jamur di musim hujan. Pengeras suara setiap saat melantunkan suara syiar dan ceramah keagamaan. Jamaah salat—salat Id dan bahkan salat Jumat—nyaris tak tertampung. Ruang-ruang kantor dan bahkan lobi-lobi hotel pun sesekali berubah menjadi serambi ibadah dan pengajian. Kajian-kajian ilmiah hampir tak pernah lupa memberi tempat kepada pandangan dari sudut agama. Berbagai pesantren dibanjiri santri-santri dari perkotaan. Pesantren-pesantren kilat dan musiman merebak.

Taman Pendidikan Alquran tumbuh semarak, bahkan kursus tasawuf diselenggarakan di mana-mana. Para pejabat dan kaum selebriti berbondong-bondong memenuhi panggilan haji dan umroh. Di kampus-kampus, para jamaah pemeluk teguh berlomba aktivitas dengan kelompok diskusi keagamaan. Mubalig dan artis bersaing berdakwah menyampaikan firman Tuhan. Para cendekiawan dan teknokrat berislam ria. Jilbab melaut. Tarawih keliling membudaya. Tahlil dan istighatsah menasional.

Fenomena keagamaan yang marak memang. Logikanya karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, kehidupan keberagamaan begitu dahsyat. Tentunya kehidupan di negeri ini sudah masya Allah, eh alhamdulillah. Namun kita tak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa bersamaan dengan fenomena keberagamaan yang marak itu, kita menyaksikan tindakan munkar: dari korupsi, kolusi, keserakahan, kekerasan, pelecehan hukum, hingga pelecehan manusia. Semua itu, di negeri ini, terus berlangsung bagai sengaja hendak dibudayakan.

Orangtua menyepelekan kaum muda. Kaum muda bersikap masa bodoh terhadap kaum tua. Ulama dan umara berkolusi mempermainkan umat. Pejabat berkolusi dengan preman merampok dan menganiaya rakyat. Para pemimpin — termasuk pemimpin agama — bertikai berebut martabat duniawi. Kejahatan yang tak masuk akal menjadi berita sehari-hari: guru mengahamili muridnya, murid menempeleng gurunya; ayah memperkosa anaknya, anak mencabuli ibunya, istri membunuh suami, suami menjual istrinya, tuan majikan mengeloni babunya, sopir meniduri nyonya majikannya, dan sebagainya dan seterusnya. Demikianlah, daging-daging dimanjakan, nyawa dan sukma suci dicampakkan di tong sampah!

Dari sisi lain, di kalangan intern kaum beragama (baca:Islam) sendiri, ada fenomena yang musykil. Berbagai organisasi dan lembaga keagamaan yang ada, masing-masing masih tampak lebih fanatik kepada kelompoknya ketimbang agamanya—dan karenanya satu sama lain sulit dipertemukan. Sementara, kini marak pula aliran-aliran keagamaan yang lebih eksklusif lagi. Dan semua mengklaim paling islam sendiri. Dalam keadaan seperti itu, herankah bila perbedaan pendapat seolah-olah diharamkan?

Sebelum   berbicara tentang keadaan kia esok, bagaimana kita menjelaskan keadaan kita sekarang yang sedemikian itu? Bagaimana kita menjelaskan, misalnya tentang seorang yang rajin bersembahyang menyembah Tuhannya tetapi sekaligus rajin menyakiti hamba-Nya? Tentang seorang haji yang terus menganiaya buruhnya? Tentang seorang haji yang mengaku beriman dan suka menghina saudaranya yang sama-sama beriman? Tentang seorang mubalig yang sikapnya sehari-hari justru menghindari tablignya? Bagaimana kita menjelaskan tentang banyaknya tempat sujud dan minimnya orang yang mau merunduk? Seperti juga bagaimana kita menjelaskan begitu intensnya Pancasila dipidatokan dan ditatarkan, bersamaan juga intensya nilai-nilainya dinjak-injak (bahkan sering kali oleh mereka yang suka memidatokannya?).

Ya, bagaimana kita menjelaskan kondisi keberagamaan kita yang bermuka dua dan seolah-olah yang satu tidak ada kaitannya dengan yang lain? Apabila salat saja misalnya terus dilaksanakan oleh sekian banyak orang, bukankah kemesuman dan kemunkaran akan tercegah paling dari mereka yang mengerjakannya? Ataukah kita perlu meninjau kembali seberapa jauh kualitas salat kita?

Ya, agaknya kita perlu meninjau kembali tidak hanya kualitas salat kita tetapi juga kualitas pemahaman dan praktek keberagamaan kita secara keseluruhan. Jangan-jangan kita yang mengaku telah mempraktekkan Islam dalam kehidupan sehari-hari belum benar-benar utuh memahaminya. Atau, bahkan mungkin baru sebagian kecil saja yang dipahami, tetapi karena giliran kegamaan yang besar, kita sudah merasa paling Islam sendiri. Jangan-jangan, seperti tamsil dongeng klise tentang gajah, masing-masing yang melihat bagian tubuhnya meyakini dan ngotot bahwa itulah gajah.

Jika benar demikian, namun kita masih mempunyai kemauan lebih untuk mendalami agama, insya Allah itu tidak begitu merisaukan. Karena, seperti kata orang, makin banyak berjalan makin banyak dilihat. Makin banyak dilihat makin tidak kagetan. Namun jika kita merasa sudah tuntas memahami Islam dan tidak perlu lagi mendalaminya lebih lanjut, boleh jadi hari esok keberagamaan kita akan kurang lebih sama dengan sekarang, atau bahkan lebih parah lagi.

Paling tidak akan lebih tawadhu kiranya bila kita mau mencoba mengintropeksi dan meneliti kembali pemahaman dan perilaku keagamaan kita. Meneliti kembali konsep kita tentang Allah, tentang hakikat penghambaan kita sesuai yang digariskan-Nya, tentang konsep dakwah, pendidikan ,dan pergaulan islami kita.

Tentu saja akan lebih banyak pengaruhnya apabila kesediaan ini tumbuh dari mereka yang kita anggap—atau mereka yang mengannggap diri mereka sendiri—sebagai pemimpin. Pemimpin apa saja sebab seperti kata pepatah, “Annasu ‘alaa diini muluukihin” (rakyat itu bergantung para pemimpinnya). Rakyat ibarat bayangan pemimpinnya: bila lurus, bayangannya akan lurus. Bila bengkok, bayangannya pun akan bengkok.

Seperti sering kita wiridkan, tantangan masa depan akan makin kompleks. Apabila terhadap pengaruh dan iming-iming menyesatkan yang sekarang saja kita tidak berdaya menghadapi dan melawannya, bagaimana dengan hari esok ketika pengaruh dan iming-iming itu kian dahsyat?

Kita selalu yakin agama kita yang benar akan sanggup membentengi kita dari berbagai pengaruh dan iming-iming itu. Cuma, ya itu tadi, seberapa jauh dan benarkah pemahaman dan pengalaman kita terhadap agama kita itu? Waalahu a’lam..***

Penulis: A. Mustofa Bisri, ulama dan budayawan, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin (Taman Pelajar Islam), Rembang, Jawa Tengah. Sumber: Panji Masyarakat, 5 Januari 1998.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda