Belajar ilmu hikmah sampai Mekah hingga menguasai berbagai hizib, Abuya Moekri dipercaya memiliki kekuatan supernatural. Untuk apa Bung Karno meminta bantuan kepada ulama Banten ini?
Abdul Hamid Ilyas, atau lebih akrab dipanggil Buya Moekri, adalah ulama ahli ahli hikmat dan tarekat dari Banten. Dia lahir pada 1860 dari pasangan K.H. Sukiya dari Kampung Terumbu, Kecamatan Kasemen, Serang, dan Hj. Jolemah dari Bengkung, Mengger, Pandeglang.
Ia memperoleh pendidikan dasar keagamaannya dari ayahnya K.H. Sukiya. Setelah itu ia belajar ke K.H. Muhammad Zuchri di Petir, Serang. Selain nahwu dan sharaf, ia belajar tasawuf, dan ilmu hikmah. Minat dan perhatian Buya Moekri kepada ilmu-ilmu ini lebih mendalam daripada minat dan perhatiannya kepada ilmu tata bahasa Arab. Bahkan konon kemampuan Buya Moekri dalam ilmu hikmah ini melampaui kemampuan gurunya. Lalu ia berangkat ke Mekah. Di sana ia memperdalam berbagai ilmu tradisional Islam, tasawuf, qira’at, fikih, tafsir, dan hadis dari beberapa guru yang berasal baik dari Nusantara maupun dari Timur Tengah.
Minat Buya Moekri terhadap ilmu hikmah semakin besar ketika ia bertemu dengan Syekh Muhammad Muhsin, ulama yang dikenal dengan keahliannya dalam ilmu hikmah. Dari syekh inilah Buya Moekri mendapatkan ijazah hizib al-a’dham, hizib al-barr, hizib al-bahr, dan hizib an-nasr. Dari dia pula Buya Moekri memperoleh ijazah untuk mengamalkan dan mengajarkan hizib an-nawawi dan ad-daur al-a’la. Selain memperoleh ijazah wirid tarekat, ia juga mempeoleh beberapa doa dan ritual zikir yang terkandung dalam beberapa karya, seperti Dalaiilul Khairat, Qasidah Burdah dan Qasidah Al-Munfarijah. Buya Moekri mendapat ijazah Dalail dari Syekh Muhammad Muhsin pada 1880.
Sebagai seorang khalifah tarekat, Buya Moekri dikagumi dan dimitoskan. Para pengikutnya dan keturunan para muridnya menceritakan sejumlah kelebihan, keistimewaan dan kehebatan supranatural Buya Moekri. Sejumlah tokoh di berbagai daerah di Banten yang penulis wawancarai mengkonfirmasi kemampuan “supranatural” Buya Moekri tersebut. K.H. Mukammad, mantan aktivis PNI dari Labuan, dan K.H. Chaedar dari Cadasari, Pandeglang, anak eks-Digulis dari Petir, K.H. Abdul Hamid, menyebut-nyebut Buya Moekri sebagai salah seorang tokoh pemberontakan 1926 yang mampu menghilang dan lolos dari sergapan dan kejaran tentara dan polisi Belanda.
Konon, tentara dan polisi Belanda mengeluh kerepotan dengan kemampuan supranatural Buya Moekri. Bahkan beberapa orang yang sezaman Buya Moekri merekam ungkapan Belanda tentang Buya Moekri bahwa kalau ada empat orang saja yang memiliki kemampuan bela diri sehebat ia, Belanda tidak akan mampu melawan dan mengalahkan masyarakat Banten. Kelebihan supranatural lain adalah bahwa ia mampu mengetahui identitas seseorang yang tidak dikenalnya sebelumnya.
Cerita tentang kemampuan supranatural Abuya Moekri konon sampai pula ke telinga Bung Karno. Ia pun diminta diminta bantuannya oleh Presiden Soekarno atas permohonan Raja Arab Saudi untuk meredam gejolak sosial yang dilakukan oleh sebagian penduduknya. Soekarno merekomendasikan Buya Moekri untuk hal ini, karena kehebatan dan kelebihan supranatural yang dikuasainya. Diceritakan bahwa dengan kesaktiannya yang luar biasa Buya Moekri berhasil dengan mudah menangkap kepala gerombolan Arab tersebut dan karenanya Raja senang dengan memberikan hadiah rumah di Mina untuk Buya Moekri. Rumah itu kemudian dihuni oleh anak ke-2 Buya Moekri, Ahmad Syatibi.
Pada 1959 atas permintaan Bung Karno, Buya Moekri kembali ke Indonesia. Setelah tiba di Pelabuhan Tanjung Priuk, Kemudian Buya Moekri singgah beberapa hari di Serang, kediaman muridnya Buya Umar. Di sana sudah berkumpul lebih dari 500 jamaah yang antusias ingin menyambut kedatangan Buya Moekri yang baru datang dari Mekah. Akhirnya, orang berdatangan ke Labuan, untuk belajar kedua ilmu ini kepada seorang alim yang sudah lama mereka tunggu-tunggu kedatangannya. Banyak orang mendapatkan ijazah tarekat dari Buya Moekri, beberapa saat setelah ia tiba di Labuan. Selain itu, ada sejumlah individu yang mendapatkan ijazah hizib wiqayah untuk pertahanan diri dari Buya Moekri. Salah seorang yang belajar hizib wiqayah dari Buya Moekri adalah Abuya Sanja, seorang pejuang dan alim yang lebih dikenal otoritasnya dalam bidang nahwu, pendiri pesantren Riyadul Alfiyyah, Kadu Kaweng Pandeglang, Banten. Menurut pengakuan Abuya Sanja, dirinya kebal dari tembakan tentara Belanda karena mengamalkan hizib yang diterimanya dari Buya Moekri.
Abdul Hamid Ilyas alias Buya Moekri meninggal pada 1959 dan dimakamkan di Labuan, Pandeglang, Banten.***