“Kemudian saya tahu, dalang adalah seorang dukun yang kesurupan, menjalankan pekerjaannya dalam keadaan tak sadarkan diri.”
Jangan kaget, kalimat yang pasti akan membuat banyak orang Jawa dan Sunda tertawa ini, ditulis John Perkins dalam bukunya dulu yang sempat menggegerkan, Confessions of an Economic Hitman.
Kesimpulan aneh ini ditarik dari pengamatannya, bahwa seorang dalang bisa memainkan peran begitu banyak boneka (pasti yang dia maksud adalah wayang golek, karena konon dia menontonnya di Bandung) dengan suara yang berbeda-beda.
Mestinya di sini kita tidak akan bicara tentang kesimpulan ngawur Perkins, yang hampir pasti lahir dari ketersesatannya mengapresiasi budaya Jawa. Tapi kita akan bicara tentang substansi dalang itu sendiri sebagai figur yang bisa ‘bersuara’ dengan beragam cara lewat tokoh yang berbeda-beda.
Sudah pasti, ketika menonton pertunjukkan wayang, semua orang dengan gampang bisa menandai bahwa ragam suara yang muncul memang bersumber dari dalang yang itu-itu juga, yang dengan jelas bisa dilihat duduk dengan tenangnya di panggung.
Tapi, masalahnya akan segera menjadi berbeda ketika pertunjukkan wayang ini mengambil setting panggung yang berbeda. Panggung politik, sosial atau budaya misalnya. Kalau panggungnya berubah jadi selebar itu, kita semua pasti kebingungan ketika harus bicara tentang dalang.
Yang paling pertama membuat kita bingung pastilah masalah dalang dan wayang itu sendiri. Siapa dalang? Siapa wayang? Ini pasti tidak mudah dijawab. Yang kedua, masalah yang juga membuat kita tak kalah bingung adalah masalah lakon. Lakon apa yang sedang dimainkan, untuk kepentingan apa dan siapa?
Kalau dalam pentas wayang, pertanyaan ini akan gampang dijawab: baik dalang, wayang maupun kepentingannya. Dalangnya jelas terlihat, demikian juga wayangnya. Kepentingannya juga jelas, yakni kepentingan penanggap yang membayarnya. Para penanggap inilah yang akan menentukan lakon apa yang akan dimainkan. Untuk apanya juga terang, yakni hajat si penanggap.
Tapi, masalah dalang, wayang dan lakon ini tampaknya bukan satu-satunya masalah yang sering membuat kita bingung ketika panggungnya kita geser dari panggung pertunjukkan ke panggung politik-sosial-budaya, yang sebenarnya juga merupakan sebuah pertunjukkan.
Dalam pertunjukkan skala besar ini, bisa jadi dalangnya bukan hanya satu; bisa dua atau tiga atau lebih. Penanggapnya pun bisa jadi lebih dari satu. Dalam kasus ini, bukan hanya penonton yang potensial salah baca, tapi bahkan para wayang dan mungkin sekaligus dalangnya pun bisa salah menentukan sikap. Mereka bisa tersesat dan menganggap pertunjukkan tersebut bukan sebagai sekadar permainan, tapi sebagai kenyataan yang benar-benar terjadi.
Ini mungkin terjadi karena para dalang tersebut ditanggap oleh pihak yang berbeda; sehingga seolah mereka sedang memainkan lakon yang berbeda. Yang jadi masalah: bila para penanggap ini sendiri pada dasarnya bukanlah pemain independen, tapi secara langsung atau tidak langsung justru menjadi pihak yang ditanggap oleh satu penanggap besar. Mereka hanya menjadi semacam sub-kontraktor bagi kontraktor tunggal yang sejatinya telah menskenariokan semua lakon yang dimainkan.
Satu hal yang jelas, definisi dalang-nya Perkins justru mungkin lebih tepat kalau kita tempatkan pada setting panggung yang lebar ini. Para dalang ini mungkin memang benar-benar orang yang sedang ‘kesurupan’, paling tidak kesurupan kepentingan penanggapnya. Begitu kesurupannya sehingga lupa bahwa ada penanggap besar yang sedang tersenyum-tersenyum melihat ulahnya.
