Mutiara

Guru Spiritual Bung Karno

Habib Ali Kwitang memelopori pengajian umum di tengah ketakutan kepada pemerintah yang selalu mencurigai kegiatan yang melibatkan orang banyak.  Apa yang dilakukan Bung Karno saat mengunjungi rumahnya menjelang proklamasi kemerdekaan?

Habib Ali bin Abduurahman Al-Habsyi atau Habib Ali Kwitang adalah salah seorang ulama-pendakwah terdepan di Jakarta pada abad ke-20. Salah satu pendiri Jami’atul Kheir ini mampu menyedot ribuan orang hadir di Masjid Ar-Riyadh,  untuk mendengar tablignya. Masjid yang ia dirikan tahun 1940-an ini lebih masyhur dengan sebutan Masjid Kwitang.

Habib Ali juga dikenal sebagai pelopor majelis taklim, yang ia gelar di Kwitang, Jakarta Pusat, sejak 1890. Ini adalah majelis taklim pertama di Jakarta karena tidak ada orang yang berani menyelenggarakannya pada masa penjajahan. Wilayah dakwah  Habib Ali tak hanya Jakarta dan kota-kota lain di Indoesia. Ia juga kerap diundang ke manca negara, seperti Singapura, Malaysia, Pakistan, Srilanka, India, dan beberapa negara lainnya. Selain memberikan pengajian umum, Habib Ali mengarang beberapa kitab, seperti Al-Azhar Al-Wardiyah Fi Sirah Annabawiiyyah  yang berisikan  akhlak Nabi Muhammad  s.a.w. dan Ad-Durar  Shalawatil  Khairil Bariyah  mengenai salawat Nabi.

Ali bin Abdurrahman lahir di Kampung Kwitang pada 20 April 1869. Ia anak Habib Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi dan Nyai Salmah. Pada 1881, atau ketika Ali berusia 12 tahun, ia ditinggal wafat ayahnya.  Habib Abdurrahman dimakamkan di dekat kediaman Raden Saleh yang bersebelahan denggan Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat. Sebelum meninggal, Habib Abdurrahman berpesan kepada istrinya, agar sang anak disekolahkan ke Hadramaut, Yaman, dan Mekah. Bagi Salmah,  wasiat itu teramat berat mengingat suaminya tidak meninggalkan harta berharga. Akhirnya, dia memutuskan untuk menjual gelang perhiasan miliknya yang dirasanya cukup untuk membiayai Ali untuk bersekolah di Timur Tengah.

Maka, dalam usia 12 tahun, Ali pun berangkat ke tanah leluhurnya di Hadramaut, Yaman Selatan, untuk menuntut ilmu. Di sana ia antara lain berguru kepada Abdurrahman bin Alwi al-Alaydrus, Hasan bin Ahmad al-Aydrus, Ahmad bin Hasan Alatas, dan lain-lain. Habib Ahmad adalah guru favoritnya setelah Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi.

Ketika di Mekah ia belajar dengan Husein bin Muhammad Al-Habsyi, Sayid Bakri Syatha, Syekh Muhammad Said Babsail, Syekh Umar Hamdan, Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Said Babesel. Sementara di Madinah, Habib Ali berguru kepada Syeikh Umar bin Muahammad bin Muhammad Al-Azzab dan sejumlah ulama lainnya.

Pada awal 1889 dia kembali ke Tanah Air. Namun, dia hanya sebentar saja bertemu dengan ibunya di Jakarta, karena ia memutuskan untuk menimba ilmu dari para ulama yang berada di beberapa daerah di Indonesia. Mulai dari Jakarta, Bogor, Pekalongan, Surabaya, Bangil dan Bondowoso. Salah satu gurunya yang paling ia senangi adalah Habib Abdullah bin Muhsin Alatas di Empang, Bogor, alias Habib Empang.

Pada 1901 Habib Ali mendirikan Perkumpulan Jami’atul Kheir, bersama Habib Abubakar bin Abdullah Alatas, Habib Abubakar bin Muhammad Al-Habsyi, dan Habib Abubakar bin Ali Shahab serta beberapa tokoh masyarakat  keturunan Arab lainnya. Jami’atul Kheir berkembang menjadi Madrasah Diniyah Jami’atul Kheir dari ibtidaiyah sampai perguruan tinggi. Habib Ali pun turut mendirikan Ar-Rabithah Al-Alawiyah, yaitu sebuah perkumpulan keturunan keluarga Nabi Muhammad pada 1928. Ia juga ikut mendirikan Daarul Aitam (rumah yatim piatu) di Tanah Abang.

Pada 1911 Habib Ali mendirikan sebuah madrasah bernama Unwanul Falah. Terletak di samping Masjid Ar-Riyadh Kwitang, madrasah ini terbuka untuk umum, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan bagi murid-murid yang ingin menetap disediakan pondok bagi santri putra dan santri putri. Di antara murid-muridnya yang menonjol adalah KH Abdullah Syafi’ie (pendiri perguruan dan majelis taklim As-Syafiiyah), KH Thahir Rohili (pendiri perguruan dan majelis taklim At-Thahiriyah), dan KH Fathullah Harun.

Sebagai ulama besar, Habib Ali sering diminta menjadi penasihat spiritual oleh para pendiri bangsa. Termasuk Bung Karno. Sebelum teks proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, di tengah ancamam pihak penjajah yang mendengar kabar bahwa Indonesia akan menyatakan kemerdekaannya,  selepas makan sahur Bung Karno meluncur dari kediaman Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, menuju rumah Habib Ali Kwitang. Ia meminta doa restu karena akan membacakan teks Proklamasi di rumahnya di Pegangsaan. Ketika berada di kediaman Habib Ali, Soekarno senantiasa mengikuti kegiatan spiritual dan doa-doa kepada Allah SWT  untuk kemerdekaan Indonesia. Bung Karno pertama kali mengenal Habib Ali Kwitang pada tahun 1930-an selepas keluar dari penjara Sukamiskin, Bandung. Yang memperkenalkanya adalah Muhamad Husni Thamrin, tokoh Betawi yang legendaris itu.

Habib Ali wafat pada 13 Oktober 1968. Ketika ia dimakamkan keesokan harinya,  pemerintah Republik Indonesia memutuskan untuk menyatakan bahwa hari itu adalah hari berkabung nasional dan memasang bendera setengah tiang

About the author

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda