Ads
Tafsir

Yang Benci dan Yang Cinta (bagian 1)

Akan engkau dapati orang-oang yang paling sengit permusuhanya kepada orang beriman: orang Yahudi dan mereka yang musyrik. Akan engkau dapati orang-oang yang paling lekat kasih sayangya kepada orang berman: orang-orang yang berucap, “Kami ini para Nasrani.” Yang demikian itu karena di antara mereka terdapat para ulama dan rahib-rahib, dan karena mereka tidaak menyombong. (Q. 5:82).  

Sebagian khatib Jum’at  membacakan ayat ini (tapi hanya kalimat pertamanya!) untuk menolak pikiran Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (tahun 1999 saat menjabat Presiden RI-red )   yang mengangan-angankan membuka hubungan dengan Israel.  Sebagian yang lain, untuk tujuan yang sama, membawakan Q. 21:20:  “Tidak akan ada rida kepada engkau baik Yahudi maupun Nasrani sampai engkau ikut agama mereka” (PM, 18, 19, 20 Desember) . Keinginan Gus Dur tersebut, yang sudah dilontarkannya di hari-hari pertama jabatanya sebagai kepala negara—untuk mempunyai hubungan dagang, sebelum idealnya, pada akhirnya kelak, hubungan diplomatik, dengan Israel— pada umumnya ditanggapi sebaga suatu problem akidah.

Ini salah satu ayat yang mencerminkan interaksi antarkalangan di masa pertumbuhan agama Islam di Madinah. Apa sebab orang Yahudi, seperti dinyatakan, begitu “sadis” kepada umat muslimin? “Karena perasan gengsi mereka yang kelewat tinggi, kekafiran mereka yang berlipat ganda, kegetolan mereka memperturutkan hawa nafsu, kecenderungan mereka kepada taklid, jauhnya mereka dari semangat penyidikan kebenaran, dan sudah terlatihnya mereka dalam mendustakan dan memusuhi para nabi.” Di abad ke-7 Hijri, kelihatan Abu Sa’id Al-Baidhawi (w.685 H., 1286 M), yang menuliskan kata-kata di atas, mendapati sifat-sifat orang Yahudi kurang lebih cocok sebagai bahan deskripsi bagi penafsiran kalimat pertama ayat ini.

Sebaliknya, mengapa orang Nasrani paling akrab dalam rasa cinta kepada orang Islam? “Karena keramahtamahan mereka, kelembutan hati mereka, kurangnya kecintaan mereka kepada dunia, dan besarnya minat mereka kepada ilmu dan amal.” Itulah, menurut Al-Baidhawi, yang diisyaratkan dalam kalimat “Yang demikian itu karena di antara mereka terdapat para ulama dan rahib-rahib, dan karena mereka tidak menyombong”  — yakni tidak meninggikan diri di depan kebenaran, kapan saja mereka memahaminya, atau tidak bersikap congkak seperti orang Yahudi. Di sini juga, kata sang mufasir, terdapat dalil bahwa sikap rendah hati, kecintaan kepada ilmu dan amal, dan penyingkiran diri dari hawa nafsu adalah hal-hal terpuji, “walaupun datang dari seorang kafir (kepada kerasulan Muhammad s.a.w).” (Baidhawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, II:64).

Ada sedikit diskusi tentang kata yang kita terjemahkan dengan “para ulama” (Nasrani). Teks aslinya, dalam bentuk jamak, adalah qissiisiin (qisiisuun). Tunggal: qisiis.  A.Hassan (Al-Furqan: 233), juga Hamka (Al-Azhar, VI:336), Al-Qur’an dan Terjemahnya (h.175), dan Nazri Adlany dkk (Al-Qur’an Terjemah Indonesia: 217) sepakat menerjemahkan kata itu dengan “para pendeta” (“pendeta-pendeta”). Begitu pula Mohammed M.Pickthall (The Meaning of the Glorious Koran: 104): priests.

Adapun yang meyalinnya sebagai “ulama” (al’ulamaa) misalnya Suyuthi & Mahalli alias Jalalain (Tafsirul Quranil ‘ Azhim: 94). Abdallah Yousuf Ali (The Glorious Kur’an: 268) mengartikannya sebagai “men devoted to learning (orang-orang yang mencurahkan perhatian pada studi)”. Jadi, juga cendekiawan alias ulama. Barangkali juga yang mengartikannya sebagai pendeta (Jawa: pandito; Inggris: priest) memilih makna itu dari segi kemampuan keilmuannya pula. (Priest, misalnya, berbeda konotasinya dengan preacher, yang adalah pengkhotbah atau mubalig).

Adapun bahwa makna qissis ini didiskusikan adalah karena ia diduga kuat kata serapan dari bahasa asing — mestinya Abessinia (Habsyi, Habasyah, wilayah Ethiopia dan Eritrea) dan bukan bahasa Suryani (Suriah Kuno) — sebagaimana penunjukan ayat ini sendiri layaknya kepada kaum Kristen Abessinia, yang dulu sudah dengan sangat baik hati menerima para sahabat Nabi s.a.w. yang mengungsi ke sana, dalam peristiwa hijrah pertama di masa penindasan para kafir Makkah (lih. Yousuf Ali, Ibid).

Muslim dalam hati.

Betapapun, ayat ini memperlihatkan satu hal: tradisi pendalaman ilmu yang di kalangan Nasrani sudah teguh tatkala mereka berinteraksi dengan umat muslimin. Pada penaklukan-penaklukan Islam khususnya ke sebelah utara Jazirah,  yang signafikan terutama di zaman Umar ibn Al-Khaththab r.a., simpanan ilmu-ilmu itulah yang digeledah dari biara-biara oleh para perajurit Islam — bukan untuk dimusnahkan, tetapi, setelah sejenak fase keraguan-raguan, diterjemahkan ke bahasa Arab.

Itu bukan hanya menjadi cikal-bakal tradisi penerjemahan dari aneka penjuru dan kemudian pengembangan besar-besaran yang menopang kemajuan peradaban Islam. Tapi juga, pada tingkat awal, telah melepaskan ilmu dari sifatnya yang parokial, yang tadinya hanya merupakan hak istimewa orang-orang biara tertentu –para qissis itu. Betapapun dalam ayat ini, seperti dibilang Yousuf Ali tradisi keilmuan dan sikap zuhud daari ordo-ordo monastik Kristen itu dikontraskan dengan hipokrisi dan arogansi Yahudi seperti dari kalangan-kalangan Parisi dan Scribe. Itu tentu sebuah pengakuan dan penghargaan yang tinggi dari Alquran kepada umat Nasrani. Tapi benarkah seratus persen adil?

Pertanyaan seperti itu datang dari Abul Fadl Al-Khathib Al-Kazuruni, komentator Baidhawi. Ia mengajukan contoh yang menyangkut butir-butir akidah Kristiani menurut persepsi orang Islam sezaman. Sebagian nasrani berkata, katanya, bahwa Allah adalah Al-Masih anak Maryam (Q. 5:17). Sebagian yang lain: beliau itu putra-Nya. Yang lain lagi: Dia maupun putra-Nya adalah Tuhan. Sementara itu Yahudi tidak pernah berucap seperti itu. Mereka hanya mendakwakan Uzair (Bibel : Ezra) sebagai putra Allah. Tetapi jawab Kazuruni, itu tidak menafikan kenyataan berlipat-lipatnya kekafiran Yahudi — “karena disebut itu hanya sebagian.” (Kazaruni, Hasyiah, dalam Baidhawi, op.cit.:164o) Bersambung

Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sumber: Panji Masyarakat, 8 Desember 1999

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading