Nabi Muhammad s.a.w. bersabda bahwa keadilan adalah memberi hak dalam prosedur yang mudah dan cepat. “Permudahlah, jangan persulit,” begitu pesan Nabi. Tetapi tidak jarang ada yang menyatakan dalam sikapnya, “Mengapa harus mempermudah jika ada jalan mempersulit?”
Agama melarang praktik sogok-menyogok. Bahkan mengutuk bukan saja yang menerima, tapi juga pemberi dan pengantarnya. Banyak sekali teks keagamaan yang menjelaskan soal ini. Namun apakah yang dimaksud dengan sogok-menyogok itu?
Kalau Anda mendefinisikannya sebagai “pemberian atau penerimaan guna memperoleh atau memberi sesuatu yang tidak sah”, apakah memberi guna memperoleh hak yang sah tidak dinamai sogok, dan dengan demikian dapat dibenarkan?
Ambillah contoh yang sederhana. Anda membutuhkan dan berhak pula memiliki surat keterangan pengenal diri alias KTP, kenaikan pangkat dalam jenjang kepegawaian, atau apa saja yang menjadi hak Anda. Tetapi, petugas yang menanganinya bersikap sedemikian rupa dengan menunda-nundanya sehingga urusan menjadi tersendat-sendat. Ketika itu, agar segalanya bisa cepat lancar, Anda merasa perlu sesuatu yang melicinkan. Nah, apakah ini dibenarkan?
Sebelum merujuk pandangan para pakar, terlebih dahulu perlu digarisbawahi bahwa dalam contoh yang dikemukakan itu, si petugas dinilai oleh agama telah melakukan sesuatu yang haram, terlarang, dan terkutuk. Ia dnilai melakukan penganiayaan, walaupun tidak menerima sesuatu. Lebih-lebih lagi jika menerima penundaan pembayaran utang, bagi yang mampu, adalah penganiayaan.
Karena itu Nabi Muhammad s.a.w. bersabda bahwa keadilan adalah memberi hak dalam prosedur yang mudah dan cepat. “Permudahlah, jangan persulit,” begitu pesan Nabi. Tetapi tidak jarang ada yang menyatakan dalam sikapnya, “Mengapa harus mempermudah jika ada jalan mempersulit?”
Dalam kitab Subulus Salam karya Muhammad ibn Ismail al-Kahlani, begitu pula dalam Nailul Authar karya Al-Imam Asy-Syaukani di bawah subjudul Risywah (sogok), kedua pengarang tersebut mengemukakan pendapat yang membolehkan pemberian dalam rangka memperoleh hak yang sah. Tidak jelas argumentasi mereka, tetapi rupanya keadaan ketika itu mirip dengan keadaan yang kita alami sekarang. Tampaknya, ketika itu telah menjamur pula budaya sogok-menyogok sehingga menyulitkan penuntut hak untukmemperoleh haknya, maka lahirlah pendapat yang membolehkan tadi.
Namun, Asy-Syaukani setelah mengemukakan pendapat tersebut mengatakan bahwa pada dasarnya agama tidak membenarkan pemberian dan penerimaan sesuatu dari seseorang kecuali dengan hati yang tulus. Nah, tuluskah hati yang memberi pelicin itu? Di samping itu, bukankah sikap ini menumbuhsuburkan praktik suap-menyuap dalam masyarakat? Bukankah dengan memberi – walau dengan dalih meraih hak yang sah – seseorang telah membantu si penerima melakukan ssuatu yang haram dan terkutuk, dan dengan demikian ia memperoleh pula – sedikit atau banyak – sanksi keharaman dan kutukan itu?
Bahkan, hadiah kepada seorang yang berwenang — kecil ataupun besar wewenangnya – apabila sebelumnya ia tidak biasa menerimanya dinilai sebagai sogokan terselubung. Dalam hal ini Nabi besabda, “Tidakkah ia sebaiknya duduk saja di rumah ibunya, untuk dilihat apakah ada yang memberinya hadiah atau tidak?”
Masyarakat melahirkan suatu budaya yang tadinya mungkar (munkar) atau tidak dibenarkan menjadi makruf (ma’ruf) atau dikenal dan dinilai baik apabila dilakukan berulang-ulang banyak orang. Yang makruf pun dapat menjadi mungkar bila tidak lagi dilakukan orang.
Sogok-menyogok, tampaknya, adalah mungkar yang telah dianggap makruf. Kalau demikian ini, yang salah adalah kita juga, sehingga secara bersama kita harus memperbaikinya, dan tak perlu menunggu yang lain untuk memulainya.
M. Quraisy Shihab, ulama-tafsir; pernah menjabat rektor UIN Jakarta, menteri agama, dan dubes RI di Mesir. (Sumber: Panji Masyarakat, 8 September 1999).