Adab Rasul

Nabi dan Utang

Nabi Muhammad pernah dipaksa membayar utang. Begini ceritanya. Syahdan, datanglah seorang tabib Yahudi untuk menagih utang (beberapa dinar). Padahal beliau sungguh sedang tidak punya uang. Lantas, bak seorang debt collector, sang tabib mengancam, “Saya tidak akan pulang sampai kamu melunasi utangmu”. Kalau orang lain mungkin marah, atau panik. Tapi nabi menjawab kalem, “Baiklah, kalau begitu, saya akan menemanimu”.  

Beliau benar-benar tak beranjak. Salat zuhur di situ, salat asar, magrib, isya, dan keesokan harinya, salat subuh  di situ. Ketika para sahabat marah—“apakah Yahudi ini yang menahan baginda, Ya Rasulullah?”—beliau menukas, “Sudahlah, Tuhanku menahanku untuk tidak menyalahi kesepakatan.” Semua peristiwa ini diikuti dengan pandangan takjub oleh si Yahudi. Dan akhirnya, setelah beberapa hari berlalu dan terus saja begitu, ia masuk Islam.  

Di tengah hidup serba kekurangan, Rasulullah terkadang memang berutang, apakah itu dalam bentuk barang atau uang. Tapi beliau selalu membayarnya dengan lebih baik. Abu Hurairah bercerita, seorang laki-laki pernah datang menagih utang (seekor unta) dengan cara tidak sopan. Para sahabat hendak marah, tapi beliau cegah. “Biarkan saja, karena orang yang punya hak itu boleh berbicara,” kata beliau. Lalu disuruhnya seorang sahabat membelikan seekor unta. Ternyata ia hanya menemukan unta yang lebih baik dari yang dipinjam Nabi. “Belilah unta dan berikan kepadanya, sebab sebai-baiknya orang di antara kalian adalah orang yang membayar utangnya dengan lebih baik,” sabdanya (riwayat Bukhari dan Muslim).  

Ada utang Nabi yang tidak sempat terbayar hingga wafat. Yaitu utang gandum kepada Yahudi bernama Abu Syahm. “Tidak ada pada keluarga Muhammad kecuali satu sha’ (sekitar 1,3 kg) gandum untuk pagi dan sore hari. Padahal, dalam keluarga ini adaa sembilan istri,” kata Nabi ketika si Yahudi menagih. Beliau lalu memberikan baju besinya sebagai jaminan. Konon, Abu Bakar lalu menebus baju besi itu, dan Ali yang membayar utang-utang beliau setelah wafat.  

Walaupun beberapa kali meminjam, Nabi nya sebatas kebutuhan. Beliau bukanlah orang yang sangat “gemar” berutang  atau menggantungkan hidupnya pada utang. Alhasil, utang itu masih dalam batas wajar.  

Diperingatkannya kita agar tidak gampang berutang. “Takutlah pada utang, karena pada permulaanya itu mendatangkan kesedihan, dan pada ujungnya perang,” sabdanya (riwayat Malik). “Jiwa seorang mukmin digantungkan pada utangnya, sampai itu dilunasi,” katanya di lain kali (riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad). Bahkan mati syahid, yang pahalanya dapat menghapus segala dosa, tidak bisa mencoret pertanggungjawaban atas) utang (riwayat Tirmidzi, Muslim, Nasa’i, Ibnu Majah, Malik, dan lain-lain. 

Itu sebabnya, beliau selalu berdoa agar dibebaskan dari utang: “Ya Allah, saya berlindung kepada-Mu dari utang dan kekufuran” (riwayat Ahmad). Dan setiap pagi dan sore beliau membaca doa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari nyali yang kecut dan kebakhilan, dari lilitan utang dan paksaan penguasa (qahrir rijal). 

Utang memang tidak cuma menimbulkan “perang”, tapi juga membuat tangan pengutang tertelikung dalam kendali orang lain (qahrir rijal). 

Penulis: Ibnu Qusyairi (Sumber: Panji Masyarakat, 16 Maret 1998) 

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda