Mutiara

Tarekat Mama Sempur

Ulama kharismatik dari Purwakarta ini menyatakan bahwa tarekat yang paling utama atawa afdol di zaman sekarang,  dan tarekat yang paling dekat sampai kepada Allah, adalah menuntut ilmu, serta benar dan ikhlas. Bagaimana sang kiai memaknai makan?

Kiai Tubagus Ahmad Bakri, menilik namanya,  berasal dari Banten. Tetapi karena sejak kecil keluarganya telah menetap di Sempur,  Purwakarta, Jawa Barat, ulama ini lebih terkenal sebagai Mama Sempur. Pada umumnya masyarakat Jawa Barat mengenal  Kiai Bakri sebagai guru tarekat Qadiriah-Naqshabandiah. Namun demikian, ia lebih suka menonjolkan apa yang disebutnya “Tarekat Ngaji”. Daam kitabnya Futuhatut Taubah fi Shidqi Tawajjuhit Thariqah ia menyatakan, “Ari anu pang afdol-afdolna tarekat dina jaman ayeuna, jeung ari leuwih deukeut-deukeutna tarekat dina wushul ka Alah Ta’ala eta nyaeta tholab ilmi, sarta bener jeung ikhlas (Tarekat yang paling afdol zaman sekarang dan tarekat yang paling dekat sampai  kepada Allah adalah menuntut ilmu, serta benar dan ikhlas)   

Mama Sempur termasuk ulama yang menolak aliran Wahabi. Penolakan  itu antara lain ia tuangkan dalam bukunya Idhah al-Karataniyyah fi Ma Yata’allaqu bi Dhalat al-Wahabiyah. Bahkan ia menilai Muhammad Abdul Wahab, pendiri Wahabi, merupakan  musuh Rasulullah.

Ia lahir di Purwakarta tahun 1839. Sebagaimana terlihat dlam buku kryanya, Tanbihul Muftarin, Mama Sempur merupakan keturunan Rasulullah s.a.w.  Mula-mula Ahmad Bakri belajar agama kepada ayahnya, Tubagus Sayidah. Ia lalu dikirim ayahnya ke Mekah untuk belajar kepada sejumlah ulama. Di antaranya kepada Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Syekh  Nawawi Banten dan Syekh Mahfudz Tremas.

Pulang dari Mekah,  1911, Kiai Ahmad Bakri mendirikan Pesantren As-Salafiyyah di Darangdang, Desa Sempur, Kecamatan Plered,  Purwakarta. Selain mengajar dan mengelola pondok pesantren, ia juga menjadi guru dan penyebar tarekat. Di antara murid-muridnya menjadi ulama terkenal seperti Abuya Dimyati (Pandeglang), KH Raden Ma’mun Nawawi (Bekasi), KH Raden Muhammad Syafi’i atau Mama Cijerah (Bandung), KH Ahmad Syuja’i atau Mama Cijengkol, dan KH Izzuddin atau Mama Cipulus (Purwakarta).

Dalam bukunya Cempaka Dilaga, K.H. Ahmad Bakri menjelaskan beberapa prinsip hidup yang harus diamalkan kaum muslimin. Misalnya, tentang keharusan berbuat baik kepada  tetangga agar kita dapat hidup di dunia dengan aman, terutama aman dalam ibadah kepada Allah. Di bagian lain kitab ini, ia berpendapat bahwa seorang muslim hendaknya patuh dan menaati pemerintah. Dalam mengambil keputusan hukum, seorang muslim hendaknya berpegang pada prinsip-prinsip usul fikih.  Misalnya ketika seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang tidak dapat dihindari, maka menurutnya orang tersebut hendaknya memilih perbuatan yang paling sedikit mudaratnya. Mendahulukan untuk menolak mafsadat daripada melakukan pekerjaan yang mendatangkan manfaat. Menurut dia, menghindari mafsadah lebih utama ketimbang mencari manfaat.

Dalam buku itu, K.H. Ahmad Bakri juga memperbincangkan perilaku manusia dalam hal makan. Menurut dia, makan merupakan kewajiban. Oleh karena itu  makan termasuk bagian dari ajaran agama Islam. Karena makan merupakan salah satu hal yang dapat menguatkan manusia dalam melaksanakan ibadah kepada Allah  dan melakukan perintah-Nya. Dengan mengetahui dan melaksanakan adab etika makan, seseorang dapat mencapai manfaat makan, sehingga dapat dinilai sebagai ibadah. Selain itu, ia menyinggung persoalan pendidikan. Hal ini terkait dengan situasi perang kemerdekaan kala itu, dimana dunia pendidikan terabaikan sehingga banyak pondok pesantren yang tutup karena perang.  Inilah yang membuatnya prihatin, sehingga ia menyatakan perlunya sebagian orang untuk tetap memperhatikan pendidikan dan tidak ikut berperang.

K.H. Tubagus Ahmad Bakri meninggal pada  1 Desember 1975 dan dimakamkan di Sempur, Purwakarta

About the author

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda