Tokoh pemberontakan petani Banten ini menyebarkan Islam di tempat pembuangannya di Manado, Sulawesi Utara. Bung Karno pun menyebutnya pahlawan besar. Apa yang menjadi kekuatan dakwahnya?
Pada masa kemerdekaan di bulan Desember 1945 Bung Karno berpidato di Alun-alun Kota Serang, Banten. Kata dia, “Wahai putra-putra Banten, tahukah kalian bahwa di Banten pernah ada seorang pahlawan besar. Siapa dia? Dia adalah Kiai Muhammad Arsyad Thawil.”
Kiai Haji Mas Muhammad Arsyad Thawil adalah salah seorang tokoh pemberontakan Cilegon tahun 1888 yang dipimpin KH Wasid. Ia diasingkan Belanda ke Manado, Sulawesi Utara. Nama lengkapnya adalah Arsyad bin As’ad bin Mushthafa bin As’ad. Ia dijuluki “Thawil” (bahasa Arab yang berarti tinggi) karena perawakannya memang tinggi. Di tempat pengasingannya Kiai Arsyad Thawil tetap berdakwah dan menyebarkan agama Islam, sehingga ketika Sarekat Islam mendirikan cabang organisasi di Manado pada 13 Oktober 1918, K.H. Arsyad Thawil diangkat sebagai penasehat.
Arsyad lahir di Tanara, Banten, pada 1829. Semasa kanak-kanak ia belajar Aquran kepada ayahnya. Di samping ilmu tajwid dan qira’at, ia juga belajar agama dasar untuk ilmu fikih dan nahwu. Setelah beberapa tahun, Arsyad dikirim oleh ayahnya ke Mekah untuk melanjutkan pelajarannya di bawah bimbingan ulama terkenal di sana. Di antaranya Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, Abu Bakar Shatha ad-Dimyathi adalah di antara ulama Mekah yang majelis pengajiannya sering Arsyad Thawil ikuti. Di samping itu ia juga mendapatkan sanad dari seorang ulama terkenal, Syekh Usman bin Hasan al-Dimyathi, yang kebetulan dikunjunginya bersama ayahya. Konon ketika Syekh As’ad mengunjungi Syekh Usman, ia memintakan ijazah sanad kepadanya untuk anak tercintanya, Arsyad Thawil. Ia juga juga mempelajari ilmu hadis di bawah bimbingan dua ulama hadis: Syekh Muhammad bin Husain al-Habsyi al-Makki dan kepada putranya, Syekh Husain bin Muhammad al-Habsyi. Sementara itu untuk memperdalam pemahamannya dalam bidang ilmu fikih, Syekh Arsyad Thawil mendapatkan bimbingan dari Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al–Makki.
Keterlibatan K.H. Arsyad Thawil dalam peristiwa “geger Cilegon” yang disebut sejarawan Sartono Kartodirdjo sebagai pemberonakan petani Banten itu bisa dilihat dari rapat-rapat yang diikutinya menjelang hari “H”. Dari delapan kali rapat persiapan pemberontakan antara bulan Februari dan Mei 1888 di Serang, Cilegon, dan Tanara, enam kali di antaranya dihadiri oleh Arsyad Thawil. Rapat-rapat yang dihadirinya berlangsung di rumah H. Marjuki di Tanara sebanyak dua kali, rumah H. Asngari Terate, H. Iskak di Saneja, Cilegon, Haji Wasid di Beji Bojonegara Serang sebanyak dua kali, H. M. Sangadeli Kaloran Serang, dan H. Asnawi Bendung Lempuyang Tanara.
Pertemuan-pertemuan itu, seperti diungkap Sartono dalam bukunya Pemberontakan Petani Banten 1888 (1984) antara lain membicarakan soal penyebaran gagasan tentang jihad dan usaha-usaha untuk merekrut pengikut sebanyak-banyaknya. Propagandis atau penganjur utama pengobar jihad ini adalah KH Marzuki, dan wakilnya Haji Mohamad Arsyad Thawil.
Pada 8 Juli 1888, perjuangan heroik melawan Belanda dimulai, dan K.H. Arsyad Thawil dengan gagah berani turut mengobarkan semangat jihad mengenyahkan orang-orang Belanda dan antek-anteknya di Cilegon. Meskipun akhirnya pasukan anak buah K.H. Arsyad Thawil mengalami kekalahan dan berujung dengan penangkapan, hal itu tidak menyurutkan anggota pasukan yang lain untuk terus melawan pasukan pemerintah kolonial sampai titik darah penghabisan. Para ulama umumnya, termasuk syekh Nawawi yang bermukim di Mekah, menyebut geger Cilegon sebagai jihad, sedangkan ulama lain semisal Habib Usman, yang juga menjadi penasehat pemerintah Belanda untuk urusan Islam, menyebut peristiwa tersebut sebagai makar alias huru-hara – dan bukan jihad.
Beberapa minggu setelah pemberontakan K.H. Arsyad Thawil bersama 204 orang pasukan Geger Cilegon akhirnya tertangkap dan beberapa bulan kemudian diajukan ke pengadilan dengan tuduhan makar untuk menggulingkan pemerintahan yang syah. Pengadilan Belanda memutuskan 89 orang dihukum kerja paksa selama 15-20 tahun, dan 11 orang dihukum mati. Selebihnya dibebaskan kembali. Sedangkan 94 orang lainnya dibuang ke berbagai daerah di Indonesia. Sementara itu K.H. Arsyad Thawil bersama dengan tujuh orang aktivis lainnya dibuang ke Manado, Sulawesi Utara.
Mula-mula Arsyad Thawil dibuang ke Airmadidi, Minahasa. Di sana ia menikahi seorang wanita beranak satu dari keluarga Runtu, yang dengan sukarela memilih masuk Islam. Liena Runtu dan anaknya Maria Runtu masuk Islam dengan nama baru masing-masing Tarhimah dan Maryam. Untuk menghidupi anak istrinya dan perjuangannya berdakwah di negeri asing ini, K.H. Arsyad Thawil konon berjualan cincau sirup dan agar-agar di depan rumahnya. Keluasan ilmu agama, pengalaman dan kearifannya dalam memberikan penjelasan dan nasihat membuat K.H. Arsyad Thawil disegani tidak hanya oleh umat Islam tetapi juga oleh kalangan masyarakat dari agama lain. Tidak jarang masyarakat yang berkonflik di sekitar tempat tinggalnya konsultasi kepada ulama kharismatik ini untuk mendapatkan solusi yang menengahi.
Seorang Kapiten Tionghoa di Manado, Tjin Bie konon terkesan dengan kepribadian K.H. Arsyad Thawil dan akhirnya bersahabat dengannya. Konon tokoh Tionghoa inilah yang kemudian mengajak Arsyad Thawil untuk pindah dari Airmadidi ke Kota Manado. Masa penahanannya di Menado dimanfaatkannya untuk mengajar dan membimbing mereka yang ingin mempelajari agama Islam. Untuk kepentingan pengajaran ini, ia kemudian memimpin madrasah Mursyid Al-Awlad yang terletak di kampung Arab pada tahun 1907. Madrasah tersebut didirikan oleh seorang Arab, Said Hasan Mawlachila.
Murid-muridnya dilaporkan tidak hanya berasal dari Manado, tetapi juga dari Makassar, Ternate, Gorontalo, Toli-Toli, Donggala, Kotamobagoe, dan Pulau Sangir. Banyak orang dari agama lain berdatangan ingin memeluk agama Islam. Karena pengaruhnya tersebut kemudian pemerintah kolonial mengangkatnya menjadi hoofd penghoeloe landraad Menado, penghulu kepala di Menado.
Pada tahun 1919 bersama-sama dengan para tokoh masyarakat muslim di Manado Arsyad berusaha membeli sebidang tanah untuk membangun sebuah Masjid Lawangirung. Beberapa tahun kemudian, beliau mendirikan Yayasan Damai Sentosa. Kiprah aktifnya di masyarakat kemudian mendulang kepercayaan yang semakin besar dari masyarakat. Sehingga ketika Sarekat Islam mendirikan cabang organisasi di Manado pada 13 Oktober 1918, K.H. Arsyad Thawil diangkat sebagai penasehat. Seperti Kiai Maja, yang dibuang ke Manado pada 1830 dan tidak pernah kembali ke Jawa, malahan menyebarluaskan Islam di tanah pengasingan, K.H. Arsyad Thawil konon gigih menyebarkan dakwah Islam di kalangan masyarakat Manado yang kebetulan mayoritas Kristen. Bahkan istrinya sendiri adalah seorang putri pendeta, yang memilih masuk Islam karena terkesan dengan cara-cara dakwah K.H. Asyad Thawil. Di samping mendirikan masjid Lawangirung, ia mendirikan masjid baru di Kumaraka dan selesai dibangun tahun 1933. Masjid ini letaknya di sebuah kampung tempat tinggal cucu-cucunya. Tujuh bulan setelah selesai pembangunan masjid ini, K.H. Arsyad Thawil meninggal dunia pada 20 Maret 1934. Ia dimakamkan di Lawangirung berdampingan dengan makam Gusti Ratu Sekar Kedaton, Permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono V.