Tak bisa dimungkiri bahwa apa yang kemudian dikenal sebagai Revolusi Islam Iran adalah salah satu tonggak penting abad 20 yang mengubah wajah dunia. Sebagian ahli bahkan menyebutnya sebagai revolusi besar ketiga setelah revolusi Perancis dan revolusi Bolshevik di Rusia. Revolusi yang mulai bersemai tahun 1977, terus membesar sepanjang Januari 1978 hingga Januari 1979, dan dipuncaki pada 1 Februari 1979 dengan kembalinya Ayatullah Khomaini dari pengasingan ini benar-benar mengejutkan dunia.
Pertama, karena Iran adalah mitra utama Amerika Serikat di Timur Tengah, tentu setelah atau setidaknya sejajar dengan Israel; sehingga mendapat sebutan sebagai polisi Timur Tengah. Dengan kedudukan yang demikian strategis, dengan pemerintahan yang demikian kuat, dengan persenjataan militer yang lengkap dan selalu update oleh pasokan Amerika; tentu membuat dunia terkejut bila kenyataannya hanya butuh waktu kurang dari dua tahun untuk meruntuhkannya.
Kedua, anatomi revolusinya dianggap unik karena tidak seperti revolusi lainnya, revolusi Iran tidak disebabkan oleh kekalahan perang, krisis moneter, pemberontakan militer atau pemberontakan petani. Revolusi yang awalnya dimotori oleh bersatunya kaum intelektual, baik yang berbasis Islam maupun sekuler, kaum mullah, kaum bazari (pedagang) dan kaum kiri menghadapi kekuasaan monarki Shah Reza Pahlevi ini, ternyata berhasil menciptakan perubahan besar dan mendasar dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Ketiga, diproklamasikannya revolusi ini sebagai sebuah revolusi Islam. Tentu saja ini mengejutkan karena peta politik global waktu itu hanya mengenal dua blok besar: kapitalis dan komunis, kanan dan kiri, barat dan timur. Tentu saja, dalam situasi polarisasi semacam ini, dengan perang dingin yang terus memuncak antara kedua blok; posisi ummat Islam tidak pernah sepenuhnya diperhitungkan sebagai sebuah entitas politik yang berdiri sendiri.
Efek kejut revolusi berlabel Islam ini tidak hanya menerpa dunia barat umumnya atau dunia modern khususnya; tapi juga menerpa ummat Islam sendiri. Ummat Islam yang sebelumnya merasa terpinggirkan secara politik dan tertekan secara budaya oleh serbuan modernitas, yang dianggap sekuler dan materialistik; tiba-tiba seperti merasa mendapat momentum untuk ‘bangkit’ kembali dari keterpurukannya, merasa mendapat suntikan darah segar untuk membina kembali kepercayaan dirinya yang sempat pudar. Efek kejut ini kemudian mengkristal dalam narasi besar tentang kebangkitan Islam. Narasi yang lantas dikuatkan dengan hadits yang konon menyatakan akan terjadinya kebangkitan kembali Islam di abad 14 hijriah.
Tentu saja efek kejut ini juga menerpa ummat Islam di Indonesia. Wacana kebangkitan Islam pun menjadi bahasan favorit di awal tahun 80an. Gerakan kembali berbusana sesuai syari’at, yang dicirikan dengan penggunaan jilbab oleh perempuan muslimah, adalah penanda utamanya. Seperti sebelumnya telah kita singgung, yang menarik dari gejala kesadaran yang tumbuh kembang waktu itu adalah kesadaran sebagai Islam yang satu. Bukan dalam pengertian Islam yang homogen dan berpusat pada satu kekuatan tertentu; tapi kesadaran berislam yang menyatukan semua keragaman yang ada tanpa harus menyoal latar mazhab atau alirannya.
Salah satu contoh menonjol adalah tidak pernah dipersoalkannya posisi Iran, sebagai wilayah yang melahirkan revolusi Islam, yang pada dasarnya berbasis syi’ah. Waktu itu orang hanya tertarik melihat Islamnya ketimbang syi’ahnya; lebih tertarik melihat potensi kebangkitannya dari pada latar alirannya.
Banyak tokoh-tokoh Islam Indonesia yang bukan hanya bersimpati pada semangat revolusi Islam di Iran, tapi juga hadir memenuhi undangan pemerintah Iran dalam ulang tahun revolusinya. Salah satunya adalah Buya Hamka. Tak mengherankan juga bila tokoh-tokoh yang sekarang pasti akan dianggap berorientasi ‘kanan’, dalam pengertian ‘modernis’, wahabis atau semacamnya pun memuji dan mendukung revolusi ini karena dampaknya yang dianggap membangkitkan kembali kesadaran keIslaman yang dianggap mulai pudar di tengah ummat Islam.
CATATAN:
Karena beberapa pertimbangan, judul yang semula Cingkrang Radikal, saya ubah menjadi Hantu Radikal. Salah satunya: judul Cingkrang Radikal yang semula saya maksud sebagai sarkasme, oleh setidaknya sebagian orang malah dibaca sebagai hujatan terhadap kelompok tersebut. Ini bukan pertama kali bahasa yang saya pakai dipahami kebalikan dari yang saya maksud. Juga bukan hanya saya yang mengalami. Mungkin ini dampak dari pemiskinan makna bahasa, atau malah mungkin pemiskinan nalar.
