Abdallah Yousuf Ali hanya menjelaskan (atau melukiskan kembali) keindahan mistis yang secara pribadi diresapinya, dan tidak bertanya. Sebab, memang, mereka yang menangkap puisi Quran dari bahasa aslinya tidak akan merasa perlu bertanya. Kenyataan tentang Sastra Kitab Suci ini menuntut kita untuk melihat kembali metologi tafsir yang banyak dipakai Yousuf Ali: penafsiran puitis mistis.
Tidak dinyatakan oleh Saiyid Quthub, tapi terasa pada kita dari uraiannya, bahwa faktor keindahan “dari dua jurusan” itu sendiri sebenarnya sudah melumpuhkan setiap kehendak untuk mengajukan pertanyaan yang bermaksud mencari tahu realitas setan di antara bintang-bintang itu. Tentu, pertanyaan seperti itu berasal dari luar dunia keindahan yang besar itu — dunia yang diwakili Quthub dengan selalu mengulang jawaban “hanya Allah yang tahu” atau “kita serahkan kepada ilmu Allah.”
Tapi Abdallah Yousuf Ali tidak satu kali pun mengucapkan kalimat seperti itu. Dan itu karena ia tidak berada, dan tidak mewakili orang-orang yang berada, di luar daerah keindahan yang dimaksudkan. Tidak seperti yang terkesan pada Quthub, alas pijakan Yousuf Ali yang sastrawan berbahasa Inggris itu bukanlah legalitas, bukan hukum, melainkan puisi Quran (dan puisi alam) itu sendiri, puisi yang oleh Quthub yang sastrawan berbahasa Arab itu ditekankan dengan nama keundahan. Yousuf Ali berada di ‘dalam’ puisi itu. Ia hanya menjelaskan (atau melukiskan kembali) keindahan mistis yang secara pribadi diresapinya, dan tidak bertanya. Sebab, memang, mereka yang menangkap puisi Quran dari bahasa aslinya (tetapi bukan yang bertugas menjelas-jelaskan Quran) tidak akan merasa perlu bertanya.
Begitulah misalnya, berbicara tentang ayat kelompok (1), “Dan kami pelihara (langit) dari tiap-tiap seran yang di rajam”, ia menyatakan, kita bisa mengimanijasikan melodi atau harmoni yang paling tingg — Musik Lengkungan Kosmos — yamg dikawal terhadap setiap kekuatan yang mengganggu. “Bila, oleh satu kemungkinan, satu kekuatan pemberontak yang jahat berusaha mendapatkan, dengan cara mencuri, satu suara dari harmoni itu, yang siapa saja yang menjadikan dirinya selaras denga itu sebenarnya diundang ke sana dengan bebas, ia akan dikejar oleh bintang meluncur, karena tidak mumgkin terdapat keselarasan antara kejahatan dan kebaikan.” (Yousuf Ali The Glorius kur’an, 639n).
Dengan persepsi seperti itu, Yousuf Ali (dengan tafsirnya yang terbit pertama kali pada 1934) tidak perlu menafsirkan apa itu bintang meluncur, misalnya saja, atau seberapa besar tubuh setan yang digenjot meteor. Sebaliknya ia siap untuk membawa karya-karya sastra dunia yang secara pribadi sangat dikuasainya ke dalam perbandingan dalam pelukisan Quran mengenai alam raya. Ia menerangkan “langit terdekat” dalam ayat kelompok (2) sebagai “lebih rendah dibandingkan Empyrean, langit tertinggi, yang adalah lengkung api (kuratun nar), yang bisa kita asumsikan sebagai tempat kedudukan sidang Kalangan yang Paling Tinggi (para malaikat) “ yang di sebut dalam ayat kelompok (2) .
“Empyrean” itu diambilnya dari Milton, Paradise Lost, yang menceritakan terdapatnya tujuh langit dari planet-planet sistem matahari. Di atasnya, lengkung bintang-bintang selesai. Di atasnya lagi lengkung kristal yang menyeimbangkan gerakan-gerankan lain. Lebih tinggi dari itu masih premum mobile… sumber seluruh gerakan langit. Dan di atas semuanya barulah Empyrean. Bintang-bintang dan planet-palnet ada di langit-langit yang lebih rendah. Permisalan yang sama bisa didapati dalam Dante. (Prof. Dr. Hazairin, almarhum, dalam risalah nya Ayyamul Quran, atau Jagat Raya Menurut Al-Quran, menyakini ketujuh langit itu benar-benar ada secara fisik, dalam jarak sekian-kian miliar par sec dari kita, agaknya sangat lebih jauh dari yang dibayangkan Milton).
Adapun tentang sidang para malaikat, “Kita bisa membentuk sebuah gambaran rohaniah tentang bangsal kebesaran dari yang paling tinggi,” kata Yousuf Ali, “ di langit yang paling atas, disesuaikan dengan ide paling luhur yang bisa kita susun tentang kebaikan, kecantikan, kesucian, keagungan” (Yousuf Ali, 1191 n). Tidak hakiki, tentunya, sebagaimana, misalnya, pelukisan Quran tentang tanya-jawab Tuhan dengan para malaikat menjelang penciptaan Adam sebagai khalifah bumi, yang seakan mengambil ruang dan suasana persidangan manusia (Q. 2:30 dst. ), juga tidak hakiki. Tapi itulah sastra, dan sebuah dunia di bawah sadar kita.
Dan ternyata Quran juga bergerak di dalam rimba bawah sadar yang memang menjadi milik kita itu — seperti juga, benar seperti di katakana Maulana Muhammad Ali, memanfaatkan alam pikiran orang, bahkan terkadang menunjuk takhayul orang- orang, sebagai hanya cara menyampaikan misi. Masalahnya hanyalah, menurut kita, pada ketika alam pikiran masyarakat maupun yang bawah sadar itu diguratkan sebagai latar belakang ke dalam bentuk puisi ketuhanan, ia tidak membutuhkan campur tangan intelektualistis dengan model penafsiran yang justru “menghabiskan” misterinya sebagai wahyu seperti yang kiranya di lakukan Muhammad Ali.
Nanti ada bagian-bagian lain dari Alquran yang, misalnya, membuat orang seperti Maurice Bucaille, penulis antara lain Quran, Bibel, dan Sains Modern atau Asal-usul Manusia (dan penganut konsep evolusi non-Darwinis), terkaget-kaget oleh kenyataan tentang beberapa temuan ilmiah baru, khususnya dalam ilmu kealaman yang, katanya, “oleh Alquran sudah dinyatakan 15 abad yang lalu”. Tentu, seperti yang juga dipantulkan dalam penafsiran Yousuf Ali maupun Saiyid Quthub, itu juga berada dalam kerangka penyampaian puitis — sumber kenikmatan pembacanya, yang bersama dengan itu mempertimbangkan tujuan-tujuan moralnya. Kenyataan tentang Sastra Kitab Suci ini menuntut kita untuk melihat kembali metologi tafsir yang banyak dipakainya. Wallahul Muafiq. ***
Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sumber: Panjimas, Juli 2003