Materi, pesona dunia, harta, tahta dan wanita, sesungguhnyalah telah menjadi berhala-berhala modern yang sering mampu mengalahkan ketaatan umat manusia kepada Sang Penciptanya. Maka tidak mengherankan jika di era kesejagadan ini seorang koruptor atau pemakan riswa, pelaku suap-menyuap yang dalihnya macam-macam: komisi – bagi-bagi sama-sama senang dan sebagainya, dengan bangganya bisa menyombongkan diri sebagai seorang dermawan pembangunan masjid atau sejumlah kesalehan palsu lainnya. Atau lantang berteriak berantas korupsi, namun diam-diam senang menerima hadiah dan sumbangan dari pejabat yang patut diduga sebagai koruptor, dengan dalih demi kemaslahatan umum.
Sungguh tepat apa yang ditulis oleh ulama sekaligus pujangga termasyhur Ronggowarsito dalam Serat Kalatida atau yang lebih dikenal sebagai Zaman Edan (gila) yaitu:
Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
melu edan nora tahan
yen tan melu anglakoni
boya keduman melik
kaliren wekasanipun
dilalah karsa Allah
begja-begjane kang lali
luwih begja kang eling lawan waspada
Terjemahannya adalah:
Mengalami zaman edan
betapa susah mengambil sikap
ikut edan tidak tahan
bila tidak ikut (edan)
tidak akan kebagian apa-apa
akhirnya kelaparan,
tapi atas kehendak Allah
seberuntung apa pun yang lupa
masih lebih beruntung yang ingat dan waspada
Dalam zaman edan seperti itu Ronggowarsito juga menggambarkan:
Ratune ratu utama
patihe patih linuwih
pra nayaka tyas raharja
panekare becik-becik
parandene tan dadi
paliyasing kalabendu
malah sangkin andadra
rubeda kang angribedi
beda-beda hardane wong sanagara
Terjemahannya adalah:
Raja (pemimpin)nya Raja utama
Patih (orang kedua)nya Patih istimewa (linuwih)
suasana hati para menterinya makmur sejahtera
para punggawanya pun baik-baik
mekipun demikian pemerintahannya
tidak berdaya menangkal bencana
bahkan semakin menjadi-jadi
malapetaka nan merintangi
karena angkara orang se negara berbeda-beda.
Bagaimana keadaan Indonesia sekarang? Mari kita jawab sendiri-sendiri secara jujur, jangan-jangan negeri kita ini sedang dikuasai oleh para Kurawa, yaitu para satria yang haus dan senang bergelimang dengan pesona dunia. Satria yang serakah dan licik, yang tidak peduli halal-haram, yang berkedok kesalehan, yang tampil bak satria berakhlak mulia, serta suka menuding orang lain sebagai Kurawa, Sengkuni, Pandita Durna atau tokoh jahat lainnya. Apatah negeri kita tengah dikuasasi para satria yang senang dengan zaman edan, yang haus dengan pesona dunia? Naudzubillah.
Menunggu Ratu Adil
dan Satria Piningit
Tentang zaman edan, penulis jadi teringat adegan goro goro dalam cerita wayang, yang antara lain menggambarkan seorang ksatria yang sedang digoda oleh para raksasa. Babak tersebut biasanya diuraikan oleh Sang Dalang dengan menggambarkan berbagai musibah dan bencana alam, langit bagaikan hendak runtuh, kilat menyambar-nyambar, guntur menggelegar bak membelah langit, bumi bergoncang terbelah dan longsor di mana-mana, air laut naik ke daratan bergulung-gulung, banjir bandang datang menerjang. Gunung api meletus melumat apa saja.
Mengapa semua ini terjadi? Mengapa jagad raya marah besar seperti itu? Karena rahmatan lil alamin telah dijungkirbalikkan. Karena kerakusan manusia terhadap pesona dunia telah merusak keseimbangan alam, merusak tatanan budi baik, sebagaimana digambarkan dalam “Jangka Jayabaya”, yang kemudian digubah menjadi suluk pewayangan oleh Sunan Kalijaga sebagai berikut:
– kali ilang kedunge
– pasar ilang kumandange
– wong wadon ilang wirange
– wong jujur malah kojur
– wong clutak tambah galak
Artinya sebagai berikut:
– sungai sudah tidak berlubuk lagi (karena kerakusan manusia yang menyebabkan kerusakan alam dan pada gilirannya mengakibatkan pendangkalan)
– pasar sudah kehilangan gaungnya (karena perubahan pranata sosial ekonomi yang menyebabkan rakyat menjadi miskin dan susah hidup)
– kaum perempuan sudah tidak punya rasa malu (karena rusak moralnya)
– orang jujur justru celaka
– orang serakah semakin menjadi-jadi (menggambarkan budi baik dikalahkan oleh kejahatan, ketidakadilan merajalela, tatanan hukum kacau balau).
Tetapi wahai saudaraku, jangan kuatir. Seorang pujangga yang memakai nama Mangunatmaja (tidak diketahui siapa dia sesungguhnya tapi diduga seangkatan Ronggowarsito), menulis Serat Kalabrasta yang berarti memberantas malapetaka dan kejahatan, dengan menyatakan zaman edan tersebut akan bisa diatasi oleh kejujuran, kebaikan, teredamnya ambisi kekuasaan, keteladanan, kesederhanaan, ikhlas dan sungguh-sungguh dalam mengupayakan keamanan, ketenteraman, kesejahteraan umum dan turunnya ampunan Ilahi serta berbagai hal baik lainnya yang merupakan pakaian keimanan.
Orang yang mempunyai jiwa, watak dan perilaku seperti itulah yang oleh leluhur kami disebut Ratu Adil, Sang Penyelamat Keadaan. Penguasa Keadilan akan selalu muncul sesuai dengan hukum dan putaran roda kehidupan, yakni tatkala kebobrokan sudah sedemikian parah sehingga timbul perlawanan yang menghasilkan hal yang sebaliknya, yaitu era kebaikan dan keadilan. Ratu Adil akan keluar dari tempat dia uzlah, dari tempat di mana untuk beberapa waktu ia mengasingkan diri, memenjarakan dirinya sendiri, mengurung diri atau memingit diri, lantaran tidak mau ikut edan. Karena itu ia disebut pula Satria Piningit. Pada hemat saya, Ratu Adil adalah orang-orang, bukan harus satu orang, yang berjiwa ksatria. Ratu Adil mungkin juga sebuah sistem yang menjunjung tinggi dan taat azas dalam menegakkan keadilan.
Allaahumma amin, semoga kita mengalami zaman keemasan seperti itu, zaman yang dipimpin oleh para ksatria yang menjunjung tinggi keadilan, yang keluar dari tempat pingitannya, satria yang rela mewakafkan sisa hidup, jiwa raganya secara ikhlas dan sunguh-sungguh demi kejayaan nusa dan bangsanya. Bukan satria yang takut mati, takut menderita tapi senang menunggu untuk menyalib di tikungan. Apalagi tentu saja, bukan Satria Kurawa yang haus pesona dunia, yang tidak memiliki budi pekerti luhur dan tidak punya jiwa ksatria. Maka jangan pula mudah terkecoh, dengan satria yang senang bergelimang pesona dunia, terutama yang dalam tempo cepat bisa menjadi kaya raya, yang mengaku lawan Kurawa, yang mengaku sebagai Satria Pandawa. Naudzubillah.
Semoga kita segera dianugerahi satria-satria balatentara Gusti Allah, yang secara spiritual adalah orang-orang yang “sudah selesai dengan urusan dirinya sendiri”.
Amin. (Seri Tulisan “Orang Jawa Mencari Gusti Allah”)