Mutiara

Riwayat (Bukan Hikayat) dari Bagdad

Dalam kekuasaan berciri nepotisme, kesempatan memang hanya hanya tersedia bagi mereka yang punya hubungan keluarga dengan si penguasa – atau, paling jauh, para konco alias kroni. Di situ pulalah berputarnya pembagian rezeki. Dan itu membawa kehancuran. Kisah keluarga Barmak pada masa Abbasiah.

“Apakah kebahagiaan, Yang Mulia?” bertanya seseorang kepada Yahya ibn Khalid al-Barmaki.

“Kebahagiaan adalah jika kamu punya perangai yang bagus. Memiliki ingatan yang kuat, pikiran yang bijak. Juga ketenangan dan kesabaran dalam mencapai tujuan,”  jawabnya.

Itu semua memang dimiliki Yahya, administrator yang pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid dari Dinasti Abbasiah. Menteri utama ini pula yang menjadikan nepotisme sebagai kekuatan birokrasinya yang dikenal efektif dan rapi.

Yahya, yang memperoleh wewenang mutlak dari Khalifah, mengangkat keempat putranya: Fazal, Ja’far, Musa dan Muhammad, untuk memegang posisi-posisi penting. Antara lain sebagai gubernur. Mereka memang dikenal sebagai keluarga birokrat yang cakap – antara lain berhasil menciptakan perdamaian di Iran Timur, menumpas pemberontakan di Syam, mengendalikan pemerintahan dengan tertib, menyediakan berbagai sarana umum (public utilities), dan menegakkan lembaga peradilan. Andil mereka terhitung besar dalam menciptakan masa keemasan Bagdad dengan kekuasaan mereka yang hanya 17 tahun (786-803 M.). Ibu kota imperium itu menjadi kiblat orang terpelajar dan berbakat dari pelbagai penjuru dunia. Keluarga Barmak memang juga mejadi pelindung kegiatan kebudayaan, kesenian, ilmu pengetahuan, dan pendidikan. Kemurahan hati mereka kepada para ilmuwan, penyair, dan pengarang sangat dikenal.

Dan itu membuat mereka dicintai – sekaligus menciptakan kelompok musuh yang terus-menerus berusaha menjatuhkan mereka. Termasuk dengan menyebarkan gosip percintaan Ja’far dengan Abbasah, adik Khalifah – yang ternyata tidak benar, menurut para sejarawan.

Meski begitu, anggapan bahwa affair yang dibayangkan tersebut salah satu penyebab jatuhnya kekuasaan keluarga Barmaki secara mendadak ditolak filosof-sejarawan terkemuka Ibn Khaldun. Kejatuhan itu terjadi,  kata pengarang Muqaddimah ini, tak lain karena mereka menggenggam semua kekuasan dan memegang kontrol atas segala pemasukan. “Kekuasaan itu begitu rupa sehingga Ar-Rasyid sering merasa perlu meminta, dan bukan mengambil, dari orang-orang yang diberi kepercayaan itu.” Lihatlah:  “Semua pejabat tinggi, sipil maupun militer, pemilihannya ditentukan oleh keluarga Barmak dan para pendukung mereka. Semua wajah diarahkan kepada mereka, dan hanya kepada mereka bergantung harapan para kandidat. Mereka membagi-bagikan hadiah kepada segala pihak di semua provinsi. Pujian kepada mereka dikumandangkan semua orang….” Itu berlebih-lebihan.

Dan yang berlebih-lebihan biasanya tidak dirasakan  oleh pelakunya, sebab datangnya secara betahap. Tapi pasti celaka akhirnya. Begitulah, berbagai intrik para musuh akhirnya menumbuhkan kecurigaan Khalifah. Sepulang beribadah haji, 802 M, Harun Ar-Rasyid tiba-tiba membuat keputusan mengejutkan: mengakhiri dominasi keluarga Barmaki. Bahkan pada akhir Januari 805 Ja’far dihukum mati. Saudara=saudaranya masuk bui, sedangkan ayah mereka yang uzur ditempatkan di bawah pengawasan. Kekayaan mereka disita.

Dalam kekuasaan berciri nepotisme, kesempatan memang hanya hanya tersedia bagi mereka yang punya hubungan keluarga dengan si penguasa – atau, paling jauh, para konco alias kroni. Di situ pulalah berputarnya pembagian rezeki. Dan itu membawa kehancuran.

Bukannya Islam tak pernah mengingatkan soal itu. Rasulullah s.a.w. menyatakan sesuatu yang agak dekat dengan itu. “Barangsiapa  menguasai perkara kaum muslimin, lalu mempercayakannya kepada seseorang, sementara dia tahu ada yag lebih baik ketimbang orang itu, dia telah berkhianat  kepada Allah dan Rasul-Nya dan kaum mukminin.” Dalam riwayat lain: “Barangsiapa menugasi seseorang dalam satu kelompok, sedangkan dia tahu ada yang lebih diterima kelompok itu dari orang itu, dia sudah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dan berkhianat kepada kaum muslimin.” Berkata pula Umar ibn Khaththab r.a. “Orang yang… mendelegasikan wewenangnya kepada seseorang hanya atas dasar suka (like), atau kekerabatan, sudah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dan kaum muslimin.”

Karena itu kata Al-Qasimi, ulama tafsir, si penguasa wajib memburu (hunting) calon-calon berkompeten sejak dari pemimpin tentara sampai para pejabat yang menguus harta. Setiap otang yang dipakainya mestilah yang the best. Pegangan lainnya: dia harus berani menolak orang-orang yang mendekat untuk kekuasaan. Berkata Abu Musa Al-Asy’ari r.a.: “Suatu hari saya, bersama dua laki-laki sekaum, datang kepada Nabi s.a.w. Berkata salah seorang: ‘Beri kami wewenang, ya Rasulallah!’ Yang lain juga seperti itu. Rasul menjawab: ‘Kami tidak menyerahkan urusan ini kepada yang meminta’.”Dan bila si peguasa berpaling  dari orang yang lebih baik kepada yang lain lantaran hubungan kekerabatan, atau mazhab, atau tarekat, atau daerah asal, atau faktor etnis, atau karena sogokan, atau lantaran kedengkian atau permusuhan, kata Al-Qasimi, dia sudah memasuki daerah larangan Tuhan. “Dan ketahuilah, sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah, cobaan, dan sesungguhnya di sisi Allah-lah balasan yag agung.” (Q. 8:28).***

About the author

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda