Tafsir

Setan di Antara Bintang-Bintang (Bagian 3)

Menurut Saiyid Quthub setan diskenariokan untuk bumi, dan hanya bumi, yakni untuk anak-anak Adam yang sesat di situ. Dengan terusirnya setan maka keindahan langit yang kemilau itu terpelihara. Ulama Al-khwanul Muslimun Mesir menawarkan  penafsiran dogmatis puitis.

Lebih selamatlah, memang, untuk memiliki sikap menyerahkan segala yang tidak diketahui itu kepada Allah SWT –  daripada mencari- cari kesempatan di sela-sela, dengan pendekatan fragmentaris dan tidak utuh. Ketidakonsistenan itulah yang tampak dihindari oleh tafsir ulama Al-khwanul Muslimun Mesir Saiyid Quthub,  Fi Zhilalil Quran, yang dicetak pertama kali di Beirut 26 tahun setelah karya Maraghi. Bila terdapat unsur ra’yu ( penalaran ) di dalam Zhilal, penalaran itu justru untuk menunjang, sering dalam bentuk menyiapkan lahan, bagi tafsiran yang tetap konvensional.

Misalnya pemikiran Quthub bahwa setan memang diskenariokan untuk bumi, dan hanya bumi, yakni untuk anak-anak Adam yang sesat di situ. Pemikiran itu untuk memberi  alasan mengapa setan diusir dari langit. Sebab langit bukan daerah setan. Tapi apakah setan, sebenarnya? Bagaimana ia mencuri-curi pendengaran? Dan apa yang dicurinya? “Ini semua termasuk perkara gaib Allah,” begitu jawabnya.

Adapun yang diceritakan Alquran tentang jin memang memberikan kesimpulan kepada kita bahwa sebelum kerasulan terakhir — mungkin dalam masa fatrah  (kekosongan nabi) antara risalah penutup dan yang sebelumnya, yakni kerasulan ‘Isa a.s — para jin itu berdaya upaya meyambungkan diri dengan alam tertinggi. Tapi kegaiban ini (juga) terserah pada ilmu Allah sendiri.

Yang jelas, dengan terusirnya setan maka keindahan langit yang kemilau itu terpelihara. Tidak bisa kita lupakan kehebatan gerak (dalam lukisan Al-Quran ) yang seakan-akan kita saksikan, lewat gambaran gugus bintang yang menetap, setan yang melesat naik, dan meteor yang mengejar dan meruntuhkan, “yang merupakan pelukisan cemerlang dalam kitab yang cantik ini.”

Dan itulah sesungguhnya yang terpenting – keindahan itu. Dalam hal ini ada dua keindahan. Pertama keindahan alam, yang menurut Quthub adalah unsur yang memang dimaksudkan Allah dalam penyususan semesta. Pada alam, keindaha itu  “fitrah yang dalam, bukan sekadar sajian di permukaan,” katanya. “Langit, dan bintang-bintang yang tersebar di situ, adalah secantik-cantik pemandangan yang bisa ditangkap mata. Tak bosan-bosan kita memandang ke sana.” Dan yang kedua adalah keindahan Alquran, “kitab yang cantik” ini sendiri — yang memang dengan sengaja “menghadapkan jiwa kita kepada keindahan langit dan keindahan alam keseluruhan itu.” (Lih. Quthub.IV: 2133, V:2983,2984,VI:3634,3729.3730). Bersambung

Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sumber: Panjimas, Juli 2003

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda