Ads
Tafsir

Setan di antara Bintang-Bintang (Bagian 2)

Bagaimana Mustafa al-Maraghi menafsirkan ayat-ayat tetang setan-setan yang bergentayangan di langit, di antara bintang-bintang. Ia bergerak antara tafsir dogmatis dan simbolis.  

Peanafsiran Konvensional Campuran

Kesulitan seperti itu jugalah kiranya yang di hadapi Tafsir Al-Maraghi ( Kairo, edisi pertama 1946), yang ketika sampai pada ayat di atas tampak “kehabisan akal” dan mengajak kembali memasrahakan diri semata-mata kepada ilmu Allah – setelah dalam ayat-ayat sebelumnya membawakan tafsir yang terkadang konvensional dan terkadang alegoris.

Mula-mula, untuk ayat-ayat kelompok (1), Maraghi mengartikan “Kami pelihara dari tiap-tiap setan yang dirajam” sebagai benar-benar pemeliharaan langit dengan lemparan tahi bintang, sementara ”mereka (setan-setan) yang mencuri-curi pendengaran”, alias rahasia langit, benar- benar akan “dikejar semburan api yang benderang”. Kata Maraghi, lalu, “Kita tidak dikurniai jalan-jalan maupun sarana-sarana yang memungkinkan kita mengetahui hal itu dengan pengetahuan yang sebenarnya.” (Mushthafa al- Maraghi, V:153).

Tetapi perlakuan Maraghi kepada ayat- ayat kelompok (2) berbeda. Untuk ayat “Kami sudah menghias langit…dan penjagaan dari setiap setan pembangkang” dia bawakan makna “Kami memelihara langit dari mereka yang dungu dan setan-setan congkak di antara jin dan manusia untuk bisa menyombongkan seakan-akan mampu merengkuh kecantikannya dan memahami keindahan hukum-hukumnya,  karena mereka teledor dari ayat-ayat kami…” Sekali lagi, “setan-setan” jin dan manusia, bukan setan-setan yang bergentayangan di antara bintang-bintang. Sebab, ungkapan ayat “Tidak dapat mereka mendengar-dengarkan dari kalangan yang paling tinggi“ tidak berarti setan-setan itu mendekati langit, melainkan justru “terpenjara di bumi ini”. Sedangkan “mereka dilontar dari segenap sisi” berarti “mereka dilempari dan diusir oleh syahwat mereka dari segenap sisi.”

Berdasarkan itu, yang berhasil “menyambar satu sambaran dan segera dikejar suluh cemerlang” bukanlah setan yang lari terbirit-birit di langit setelah bisa mendengar sedikit berita. Melainkan, sebaliknya, “orang yang menampak secerah kilat keindahan itu,” dan kilat itu “merampas akalnya seperti meteor yang melesat.” (Maraghi, VIII;160-161). Penafsiran simbolis. Begitu pula untuk ayat dala kelompok (3) : “Kami jadikan dia lemparan terhadap setan.” Bukan setan yang dilempari dengan bintang.

Karena itu menjadi agak aneh ketika yang dimuatkan, pada tafsiran ayat kelompok (3), justru kutipan pendapat dari “sebagai mufasirr “ yang menyatakan bahwa lentera-lentera yang dipakai Allah untuk menghiasi langit terdekat itu (yakni bintang-bintang) sebenarnya “tidak berpindah dari tempatnya dan tidak dipakai melempar, tetapi terbongkah dari bintang itu satu meteor yang membunuh jin atau melumpuhkannya.” Yang ini benar- benar lemparan dengan bintang.

Apalagi berikutnya dikutipkan pendapat Qatadah r.a. yang sudah kita muatkan: “Bintang- bintang diciptakan Allah untuk tiga fungsi: hiasan langit, alat pelempar setan…” dan seterusnya. Dan, untuk lebih membingungkan, inilah kelanjutan kalimat itu: “Maka barangsiapa berbicara mengenai hal itu (tidak seperti keteramgan Qatadah ), ia sudah membicarakan hal yang tidak ia ketahui; ia  melangkahi batas, dan zalim.” (Maraghi, X :148-149).

Kalau sammpai di ayat itu saja Maraghi sudah kembali membalik menjadi “dogmastis”, apalagi pada ayat- ayat kelompok (4) yang betapapun, seperti yang kita nyatakan di atas, susah untuk dianggap sebagai menuturkan kiasan. Dan kesulitan untuk menggerakkan tafsiranya secara tidak menyalahi pengetahuan kealaman modern itu, berhadapan dengan kenyataan ayat- ayat tersebut, kemudian menyebabkannya menempuh dua kebijakkan.

Pertama,  menyerah. Katanya, “Kita sungguh-sungguh beriman kepada keterangan dalam Kitabul Karim bahwa jin dahulu mencuri-curi pendengaran, lalu dilarang dari hal itu sesudah kerasukan Nabi s.a.w, tetapi kita tidak tahu bagaimana cara mereka mencuri-curi pendengaran, tidak diketahui pula ihwal penjagaan yang menolak mereka itu, ataupun maksud syuhub (meteor, jamak syihab) yang siap maeanyang mereka. Jin adalah jisim-jisim dari api —  bagaimana pula dia akan terbakar oleh meteor.”

Kedua, mencoba menggeserkan ayat ke pengertian mistik —  dengan menukil “satu kaum” yang berpendapat bahwa “tempat- tempat mendengarkan” (dilangit) adalah tempat-tempat keraguan yang  dipakai jin utuk membuat waswas di dada manusia. Arti “penjagaan” yang disebut dalam ayat itu adalah dalil-dalil akal yang telah ditanamkan Allah Subhanahu sebagai pegangan pada para hamba-Nya, sedangkan “meteor” adalah dalil-dalil kealaman  yang telah ditaruh-Nya di dalam jiwa manusia dan di ufuk- ufuk (Marghi, X 223 ).

Entah dari mana sumber ambilan tafsir serba-batin itu, tapi tafsiranya yang membingungkan tentang ayat- ayat kelompok (3) di atas (tanpa nukilan dari Qatadah r.a) sepenuhnya di ambil, hampir kata per kata, dari Al-Jawahir fi Tafsiril Quranil Karim Syekh Thanthawi Jauhari, yang dicetak pertama kali di Kairo pada 1923 M (lih.cet. 1351 H.,  XXIV: 202). Dan seperti juga Mararghi, Syekh Thanthwi memang juga tidak menafsirkan, kecuali hanya menjelaskan, ayat- ayat kelompok (4).

Bersambung

Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sumber: Panjimas, Juli 2003

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading