Bagaimana kita bisa membaca amar Allah yang kontekstual dengan sikon zaman (bukan amar yang telah dapat kita ketahui di dalam Kitab Suci) supaya kita bisa menaggapinya sebagaimana mestinya? Seseorang tidak akan dapat membaca amar Tuhan atau menyaksikan Wajah-Nya sebelum ia mati. Maksud ‘’mati’’ di sini adalah ia telah selesai dengan masalah dirinya, sudah terpanggil untuk mengurusi masalah yang lebih besar, yaitu umat dan semestanya.
‘’Istirahatkan dirimu dari berupaya (untuk kepentingan diri). Karena apa yang telah ditegakkan oleh selain dirimu (Allah), tak perlu engkau bersusah payah menegakkannya untukmu,’’ kata Ahmad ibn Athaillah As-Sakandari dalam buku Hikam-nya yang masyhur.
‘’Wahai jiwa yang tenang (telah istirahat dari memikirkan diri sendiri),kembalilah kepada-Ku dengan merela dan direlai. Dan masuklah dalam golongan hamba-Ku (yang siap menunaikan urusan Allah) dan masuklah dalam surga-Ku’’(Qs 89:27-30).
Dalam Alquran golongan ini disebut golongan mutawakkilin, yang bertawakal. ‘’Dan siapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah cukup baginya. Sesungguhnya Allah akan menyampaikan urusan-Nya’’(Qs 65:3).
Adapun menunaikan amar Allah (amrullah) berbeda dengan melakukan sesuatu yang bermotif kepentingan diri atau nilai-nilai pada umumnya. Sifat amrullah itu maf’ula (pasti terlaksanakan) dan tidak harus lurus dengan logika atau atau visi moral yang berlaku. Kisah perjalanan hidup Nabi Ibrahim a.s. dan keluarganya, kisah Nabi Musa a.s. dengan Hidhir menggambarkan hal tersebut.
Selain itu, di balik ‘’kenyataan faktual’’ seorang yang melaksanakan amar Allah kita dapatkan ‘’kenyataan konseptual’’yang bermakna bagi kehidupan. Perilaku Nabi Ibrahim dan istrinya. Hajar di dalam menghayati perintah Tuhan (yang kemudian menjadi ritual ibadah haji) menjadi sebuah konsep untuk membuka hijab bashirah (tabir hati) kita terdapat amar Allah. Pengalaman aneh-aneh selama menunaikan ibadah haji bukanlah dari gangguan jin,melainkan ajakan berkenalan dari Tuhan Rumah lewat amar-amar-Nya yang harus direspons dengan tobat (mengubah cara hidup sebagaimana yang dikehendaki-Nya).
Itulah misteri besar yang tersimpan di dalam diri seseorang hamb yang telah menemukan kematiannya. ‘’Hamba-Ku, taatlah kepada-Ku, sehingga Kujadikan di dalam dirimu sifat rabbaniyah. Bila kau katakan pada sesuau ’jadi’, maka akan menjadi ‘’(Hadits Qudsi).Dengan idiom Quran perintah itu menjadi:’’ dan semabahlah tuhan mu, hingga datang kepada mu keyakinan’’(QS 15:99).
Ketika seseorang sudah tidak lagi jinak kepada apa dan siapa pun, sifatnya akan berubah menjadi penyantun dan kasih sayang kepada sesamanya. Revolusi dirinya telah selesai, kini saatnya untuk memulai peran ‘’rabbaniyah”nya atau peran ketuhanannya di muka bumi.
Saat itu dirinya sudah bukan dirinya lagi, melainkan orangnya Tuhan (ahlullah) yang dipandu dan dilindungi olehnya di mana dan kapan saja. Dalam melaksanakan amar-Nya dia tidak menghsrap apa pun selain rida-Nya. Rida Allah di dalam Quran selalu disimbolkan dengan surga. Padahal surga tidak akan dapat di masuki selain oleh rahim,orang yang bersifat penyantun dan penuh kasih sayang di dalam mengembangkan semesta kehidupan. ‘’Laa yadkhulul jannata illaa rahim (tidak akan masuk ke surga kecuali rahim),’’ kata Nabi.
Setiap individu memiliki caranya sendiri di dalam bermusyahadah dengan Allah Rabbul alamin (penguasa alam), sesuai dengan peran kepadanya. Ratu Bilkis yang ‘’lumpuh’’di depan kehebatan Sulaiman a.s. mengucapkan ’’aslamatu ma’a sulaiman lillaahi rabbil–’aalamin’’(aku berserah diri bersama sulaiman kepada Allah Rabbul alamin). Para penyihir Fir’aun yang terpesona dengan mukzizat Muasa a.s. mengucapkan ’’Aamannaa birabbil ‘aalamin’’ (kami beriman kepada Rabbul alamin). Firr’aun ketika ditelan Laut Merah juga bersaksi,’’Aamantu birabbi Musa wa Harun ‘’(aku beriman kepada tuhannya Musa dan Harun).
Sayang Fir’aun tidak memiliki kesempatan untuk mengabdikan perolehannya karena maut segera menjemput. Maka rebutlah kematian sedini mungkin, sebelum ajal tiba.***
Penulis: Muhammad Zuhri, Guru Tasawuf. Sumber: Panji Masyarakat, 8 September 1999.