Apa yang salah pada kita ketika membaca ayat-ayat suci Alquran? Islam adalah agama kebersamaan, bukan agama individual.
Yaa ayyuhalladziina aamanuu udkhuluu fis–silmi kaaffatan walaa tatta’uu khuwaatisy syaithaani, innahuu lakum ‘ aduwwun mubiin (Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kedalam Islam secara total dan jangan kalian mengikuti langkah-langkah setan, ia itu jelas-jelas musuh bagi kalian Q.S. 2 : 208).
Jika Anda seorang Muslim, pasti Anda selalu atau setidaknya pernah membaca Alquran. Nah, saya ingin cocokkan dengan Anda, apakah Anda juga sering mengalami atau merasa seperti yang sering saya alami dan rasakan hampir setiap kali membaca kitab suci itu. Saya sering merasa, pada saat membaca Alquran, tersindir oleh ayat-ayat yang sedang saya baca.
Beberapa ayat yang saya ketahui sering ditujukan untuk orang-orang kafir dan orang munafik, misalnya ketika saya resapi maknanya, ternyata seperti ditujukan kepada diri saya juga. Sifat-sifat dan perangai yang disebutkan sebagai sifat dan perangai orang kafir dan orang munafik, kok ada pada saya. Sebaliknya, beberapa ayat tentang orang-orang mukmin, kok sepertinya saya di luarnya. Sifat-sifat dan perangai yang disebut-sebut sebagai sifat-sifat dan perangai orang-orang mukmin, tak terdapat atau tak seluruhnya ada pada diri saya.
Misalnya ayat-ayat tentang orang kafir yang membatu dan orang munafik yang seprti bunglon di awal sural Al-Baqarah, sering mengganggu dan menimbulkan tanda tanya dalam diri saya : “Bukankah saya pun setiap kali bersikap membatu, diperingatkan atau tidak diperingatkan sama saja; atau mbunglon, di sini begini di sana begitu, lain di mulut lain di hati?”
Juga ketika di surah At-Taubah ayat 62, saya membaca tentang orang-orang munafik, baik laki-laki maupun perempuan, yang perangai mereka satu sama lain sama: suka menyuruh berbuat munkar dan mencegah perbuatan makruf serta kikir. Saya merasa diri saya lebih pas di sini daripada yang dikatakan dalam ayat 71 surah yang sama.
Padahal di ayat itulah Allah berfirman tentang orang-orang mukmin, “Sesungguhnya orang mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah pembela sebagian yang alim; mereka menyuruh berbuat makruf dan mencegah kemunkaran; mereka mendirikan sembahyang; menunaikan zakat; dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya………”
Begitu juga saat membaca ayat 10 surah Al-Hujurat, “Innamal mu’minuuna ikhwatun fa ashlihuu akhawaikum wattaqullaha la’allakum turhamuun” (Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu dirahmati). Perasaan dan pikiran saya terusik.
Timbul tanda tanya yang terus mengejar: apakah kami – saya dan saudara-saudaraku yang seiman- menurut Alquran belum sebenar-benarnya beriman, sehingga sampai kini kami belum bisa bersikap sebagai sesaudara? Kenapa bila ada saudara sesama mukmin bertikai, kami tidak mendamaikan, tapi sering justru ngipas-ngipasi?
Lagi pula, ayat-ayat yang mengecam sikap-sikap perilaku buruk seperti hasud, membicarakan keburukan sesama, kikir, mencampuradukkan yang benar dengan yang batil, mementingkan kehidupan dunia dan mengabaikan akhirat, menuruti hawa nafsu; memutarbalikan firman Tuhan, dan sebagainya dan seterusnya itu ditujukan kepada orang-orang nonmukmin? Mengapa kok saya merasa tersindir? Tentu ada yang salah pada diri saya, pikir saya.
Ya tentu ada yang salah. Jangan-jangan Aquran dan Sunnah, pustaka penyelamat kaum muslimin yang ditinggalkan Rasulullah s.a.w. untuk kita, hanya saya baca tanpa saya pahami dan amalkan sebagaimana mestinya. Atau jangan-jangan saya sudah puas mengandalkan syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji saya sesuai kitab fikih yang saya pelajari? Ataujangan-jangan saya merasa sudah beriman hanya karena saya sudah hafal rukun iman? Atau jangan-jangan konsep saya tentang Allah masih belum beres? Atau, atau….
Dari beberapa tanda tanya itu, saya pun sampai kepada kesimpulan: saya perlu mereformasi keberagamaan saya. Nah, bila Anda mengalami dan merasa seperti apa yang saya alami dan rasakan, apakah Anda juga punya kesimpulan seperti saya itu? Kalau ya, kebetulan sekali, kita bisa bersama-sama mereformasi keberagamaan kita. Bukankah agama kita memang “agama kebersamaan” dan bukan “agama individual”? Wallahu a’lam.
Penulis: A. Bisri Mustofa (Sumber: Panji Masyarakat, 14 Juli 1999).