Mutiara

Mengislamkan Negara, Bukan Negara Islam

Menurut Harun Nasution Pancasila merupakan hadiah masyarakat muslim kepada bangsa Indonesia. Pancasila adalah bukti kesuksesan politik Indonesia, karena Pancasila adalah pengorbanan terbesar masyarakat muslim untuk tidak mencamtumkan namanya di dalamnya.

Harun Nasution adalah pembaru pemikiran Islam pada abad ke-20. Mantan rektor Institut Agama Islam Negeri (sekarang Universitas Islam Negeri) Jakarta ini berpendapat bahwa Islam merupakan agama yang dapat selalu diperbarui. Menurut dia, Alquran hanya sedikit memuat ayat yang bersifat qathi’i    (pasti), dan lebih banyak yang bersifat dzanni (dugaan). Ini yang membuat pemikiran tentang pembaruan Islam sangat terbuka. Ajaran agama yang bersifat wajib seperti salat lima waktu memang merupakan suatu yang harus dijalani tanpa perlu dipertanyakan karena bersifat qathi’i. Namun, salat dengan menggunakan mikrofon atau teknologi lainnya adalah suatu yang dibolehkan, karena bersifat dzanni. Dengan adanya persinggungan dengan teknologi inilah, semestinya Islam berkembang. Tanpa itu, Islam akan selalu dianggap kuno atau ketinggalan zaman.

Lebih jauh, Harun Nasution menegaskan bahwa rasionalisme akal adalah kekuatan yang patut dihargai. Hal ini terbukti pada masa kejayaan Islam abad pertengahan. Ia yakin bahwa Alquran dan hadis Nabi adalah dua pedoman manusia untuk menggunakan akalnya. Maka, ia menawarkan aliran teologi Muktazilah yang sangat menghargai kekuatan akal dan lebih terbuka. Meskipun begitu, ia juga pernah mengkritik aliran teologi yang dianggap sebagai bapak ilmu kalam ini, karena tidak toleran dalam menanggapi perbedaan pendapat. Harun Nasution menganjurkan umat Islam Indonesia untuk melakukan ijtihad dan menjauhi taklid (melakukan sesuatu tanpa tahu dalilnya). Pemikiran itulah yang membuat Harun Nasution dianggap sebagai tokoh pembaharu Islam di Indonesia..

Harun Nasution dilahirkan pada 23 September 1919 di Pemangsiantar, Sumatera Utara. Ayahnya, Abdul Jabbar Ahmad, adalah seorang pedagang kaya. Selain belajar di lembaga formal, yaitu HIS (Hollandsch-Inlandsche School) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), Harun Nasution juga belajar mengaji setiap sore dan maghrib hingga isya di rumahnya. Setelah lulus dari MULO ia masuk ke MIK (Modern Islamietische Kweekschool) Sumatera Barat. Mula-mula oragtua Harun menginginkan anak mereka belajar di Mekah. Namun, Harun sendiri merasa tidak betah di Mekah, dan mengirimkan “ultimatum”, bila ia tidak dipindahkan ke Mesir, ia bersedia menjadi sopir. Maka, kedua orangtuanya mengizinkan Harun belajar ke Mesir.

Setibanya di Mesir pada 1938,ia tak bisa langsung masuk ke Universitas Al-Azhar, karena hanya memegang surat keterangan selesai kelas tiga MIK Bukittinnggi. Maka, ia belajar mengaji (agama) kepada seorang guru privat dan mengikuti kuliah umum Syaikh dari Al-Azhar setiap hari. Di sana, ia bertemu dengan Osman Raliby dari MULO dan Mansur Makarim dari AMS. Kegiatan awal Harun Nasution di sana hanya seperti itu, sesekali bersama temannya ia pergi ke gedung bioskop dan kumpul-kumpul dengan Perkumpulan Pemuda Indonesia-Malaysia (Perpindom).

Setelah mengikuti proses tersebut, Harun Nasution akhirnya dapat masuk ke Fakultas Ushuludin Universitas Al-Azhar dan melanjutkan di Fakultas Pendidikan Universitas Amerika di Kairo. Di tengah kesibukannya dalam dunia pendidikan, ia juga aktif menulis di surat kabar Sinar Deli. Nama yang ia gunakan di surat kabar itu adalah H.A. Jabar (Harun Abdul Jabar). Tulisannya banyak membahas tentang isu politik di Mesir dan kabar Indonesia di luar negeri. Pada saat itu, Harun Nasution bersama teman-temannya di Perpindom berhasil membuat bangsa Indonesia dikenal melalui dukungan dari Jam’iyyah Al-Ikhwanul Muslimin dan Liga Arab.

Karena itu, Indonesia mendapatkan pengakuan pertama kali oleh Mesir (1947) dan dapat membangun badan perwakilan pertama kali di dunia, di sana Harun Nasution duduk di bagian Inggris. Selanjutnya, badan perwakilan ini menjadi kantor delegasi resmi Indonesia (29 Desember 1949). Setelah itu, ia ditugaskan sementara di Kedutaan RI di Arab Saudi, mengurusi soal haji. Dari sana pula, ia berkelana menjadi seorang staf Departemen Luar Negeri, salah satunya di Belgia (1955).

Pada tahun 1960, Harun Nasution kembali ke Mesir, dan belajar di Al-Dirasat al-Islamiyah. Ia merasa lebih cocok di sana daripada Al-Azhar karena tidak menekankan metode hafalan. Di universitas swasta itu ia bertemu dengan Abu Zahrah, yang membuka pemikirannya mengenai modernisasi Islam. Ia pun mengakui, ketertarikannya terhadap dunia Islam makin tinggi. Harun Nasution rajin membeli buku dan majalah berbahasa Inggris, yang ditulis orang Islam. Tahun 1962 ia mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan kuliah di Institute of Islamic Studies McGill University.

Rupanya, Harun Nasution menganggap Islam di Amerika lebih rasional. Di sinilah, Harun Nasution mulai tertarik dengan ilmu kalam. Iia pun menganggap kitab kuning yang dipelajari di Timur Tengah sudah kaku. Tesis yang ditulis Harun Nasution juga tentang konsep negara dalam Islam. Dalam menyelesaikan tesisnya, ia mengambil banyak pemikiran tokoh-tokoh Masyumi, seperti Natsir, Zaenal Abidin Ahmad, dan Isa Anshari. Obyek kajian disertasinya membahas tentang pengaruh paham Muktazilah Muhammad Abduh di Turki, Arab, dan India. Dengan pemikiran seperti itu, ia menjadi sering berdebat dengan Hatta.

Setelah meraih gelar doktor (1968), Harun Nasution mengajar di IAIN Jakarta mulai 27 Januari 1969. Di sana, ia membawa ide-iede pemikiran pembaruan Islam. Empat tahun kemudian, Harun Nasution diangkat sebagai rektor IAIN Jakarta oleh Prof. Dr. Mukti Ali (Menteri Agama). Ia memasukkan mata kuliah Pengantar Ilmu Agama, filsafat, tasawuf, ilmu kalam, tauhid, sosiologi, dan metodologi riset sebagai mata kuliah dasar umum. Tindakan ini semula ditolak oleh dosen-dosen tua. Namun, akhirnya, pemikiran Harun Nasution dapat diterima, dengan syarat, tanpa menghilangkan hadits dan fikih. Pemikirannya tentang Islam juga tertuang dalam banyak buku, di antaranya Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (1974), Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan (1977), Filsafat Agama (1978), Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1978), Akal dan Wahyu dalam Islam (1980), Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987), dan Islam Rasional (1995). Selain menulis buku, ia juga rajin membuat artikel dan sering dipanggil ceramah di berbagai tempat.***

Dalam mengadakan pembaharuan Islam, Harun Nasution menawarkan konsep dzanni, yang dapat mengubah permasalahan sosial. Maka, Harun Nasution menolak adanya kelompok yang ingin mendirikan khilafah, karena sebenarnya itu adalah konsep yang boleh ditinggalkan. Menurut dia, Islam dan Pancasila adalah dua unsur yang saling berhubungan. Ia pun menyatakan bahwa Pancasila merupakan hadiah masyarakat muslim kepada bangsa Indonesia. Ia menegaskan, Pancasila adalah bukti kesuksesan politik Indonesia, karena Pancasila adalah pengorbanan terbesar masyarakat muslim untuk tidak mencamtumkan namanya di dalamnya. Asumsi itu Harun Nasution anggap sebagai semangat primordial masyarakat muslim Indonesia. Harun Nasution lebih suka mengislamkan negara daripada negara Islam.

Harun Nasution berpendapat bahwa pemahaman agama apa pun adalah benar bila memang diterima oleh pemeluk agama itu. Cara pemahaman atas agama lain ini yang kurang dipahami Rasyidi. Semangat Islam yang disampaikan Harun Nasution adalah berupa semangat dialog. Menurutnya, dengan dialog akan terjadi persamaan. Dan, persamaan itu adalah dasar nilai-nilai kemanusiaan. Ia menambahkan, bahwa setiap agama berhak berdosa dan diberikan ampunan oleh Tuhan bila mereka meminta maaf.

Harun Nasution, yang menikah dengan perempuan Mesir dan tidak dikauruniai keturunan ini wafat pada 18 September 1998 akibat penyakit jantung koroner. Di masa akhir hayatnya Harun Nasution menjadi pengikut tarekat Qadiriyah -Naqshabandiyah pimpinan Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin alias Abah Anon dariPondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat

About the author

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda