Ads
Mutiara

Raja yang bukan Raja dan Kuasa Pena

Bangsawan  Bugis yang jadi sastrawan Melayu terkemuka, Mengapa Raja Ali Haji digelari syaikhul Islam?

Raja mufakat dengan menteri, seperti kebun berpagarkan duri.
Betul hati kepada raja,tanda jadi sebarang kerja.
Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat.
Kasihkan orang yang berilmu, tanda rahmat atas dirimu.
Hormat akan orang yang pandai, tanda mengenal kasa dan cindai.
Ingatkan dirinya mati, itulah asal berbuat bakti.
Akhirat itu terlalu nyata, kepada hati yang tidak buta.

Itu cuplikan Gurindam Dua Belas pada pasal yang kedua belas, karangan Raja Ali Haji,  sastrawan klasik Melayu, penemu puisi Gurindam 12. Ahli tata bahasa Melayu ini juga seorang ulama, politkus dan ilmuwan.

Nama Raja Ali Haji sebenarnya adalah Ali.  “Raja”, yang menjadi nama depan adalah gelar kebangsawanan bagi etnis Bugis di kawasan Melayu. Gelar “Haji” disematkan  di kemudian hari setelah ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, Raja Ahmad, pada 1828.

Ia  lahir di Pulau Penyengat, Riau,  pada 1809. Ayah Raja Ali Haji adalah penasehat beberapa orang Yang Dipertuan Muda Riau.

Pada 1826 M Raja Ali Haji telah menguasai dasar-dasar ilmu agama yang kuat, dan mulai menjadi salah satu guru mengaji Alquran  di Pulau Penyengat. Sekitar usia 18 atau 19 tahun Raja Ali Haji ikut ayahnya ke Mekah ntuk menunaikan ibadah haji. Raja Ahmad dan Raja Ali Haji tinggal di tanah suci selama dua tahun. Selama itu Raja Ali Haji berguru kepada  Daud bin Abdullah bin Idris al-Fatani, berasal dari Pattani, kini Thailand Selatan. Al-Fatani merupakan ulama Melayu terkemuka di Mekah. Raja Ali Haji anatara lain belajar tentang tata bahasa Arab (nahwu  dan sharaf),  fikih serta tasawuf.

Keterlibatan Raja Ali Haji dalam arena politik dimulai dari usia yang sangat muda, dan  berlangsung selama 40 tahun. Namun demikian, karir politiknya tidak sampai pada jabatan Yang Dipertuan Muda Riau, yang merupakan puncak karir politik yang tersedia bagi etnis Bugis di wilayah ini. Karir politik Raja Ali Haji hanya sampai mendududki jabatan sebagai Mufti atau Syaukhul -Islam pada masa Yang Dipertuan Muda Riau ke-9, Raja Abdullah (1857-1858 M). Pengangkatan Raja Ali Haji pada posisi itu berdasarkan wasiat Raja Abdullah menjelang wafatanya pada 1858 M, agar Raja Ali Haji “memegang segala pekerjaan hukum”, yakni, semua hal yang menyangkut yurispresedium Islam. Jabatan itu masih dia emban pada era Yang Dipertuan Muda Riau ke-10 (terakhir), Raja Muhammad Yusuf (1858-1911). Jabatan sebagai Mufti  atau Syaikhul Islam ini dijabatnya hingga akhir hayatnya.

Raja Ali Haji  boleh dibilang tokoh budaya yang kompleks. Dia seorang pujangga, seorang ahli siasat dan politikus, seorang ulama dan seorang ahli bahasa. Dari tanggannya dihasilkan karya-karya besar seperti: Gurindam 12, Bustanul -Katibin (Kamus Bahasa Melayu),  Kitab Pengetahuan Bahasa, Samarat al-Muhimmah (Kitab Pegangan para Pejabat Pemerintah), Muqaddimah fi Intizham (Undang- undang), Syair Abdul Muluk, Tuhfah an-Nafis (Sastra Sejarah), Silsilah Melayu dan Bugis (Sastra Sejarah), Syair Suluh pegawai, Syair Siti Shainah, Syair Sinar Gembala Mustika Alam dan sejumlah buku lainnya.

Tulisan-tulisan Raja Ali Haji menunjukkan bahwa ia lebih daripada sorang sejarawan dalam arti sempit. Ia adalah guru, seorang teolog, seseorang dengan komitmen memelihara nilai-nilai tertentu dan cita-cita, dengan rasa tanggung jawab yang dalam terhadap masyarakatnya. Pengertiannya dari masa lalu erat hubungannnya dengan pandangan religiusnya yang pada pikirannya didasari karya alim-ulama Islam yang sangat dihormati. Jangkauan tulisan Raja Ali Haji menunjukkan bahwa ia setuju dengan pendapat Imam Al-Ghazali tentang kekuasaan pena, “lebih berkuasa daripada seribu pedang”

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda