Wartawati pertama Indonesia dan pejuang persamaan hak-hak perempuan ini sempat terlupakan. Kini diangkat jadi Pahlawan Nasional. Apa yang harus berubah pada perempuan menurut Rohana Kuddus?
Nama Siti Roehana Koeddoes (Rohana Kuddus) memang tidak pernah menjadi buah bibir seperti Raden Ajeng Kartini. Apatah lagi hari lahirnya diperingati. Tapi dialah wartawan perempuan pertama Indonesia, sekaligus pendidik dan pejuang emansipasi wanita. Sepanjang hidupnya ia berjuang untuk memperbaiki nasib kaum perempuan. Nama belakang Kuddus diambil dari nama suaminya, Abdul Kuddus, yang menikahinya pada 1908, yang juga merupakan keponakan ayahnya.
Rohana dilahirkan pada 20 Desember 1884 dari pasangan Kiam dan Mohamad Rasjad Maharadja Soetan, seorang jaksa pada masa pemerintahan colonial. Kakeknya jaksa pertama di Bukitinggi (1833-1836). Pamannya, adik Rasjad, juga seorang jaksa. Begitu pula saudara-saudara lelakinya yang lain. Rohana adalah kakak Sutan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia pertama, dan juga bibi penyair terkenal Chairil Anwar. Ia juga sepupu Haji Agus Salim, karena kakek mereka bersaudara. Dengan demikian, boleh dibilang Rohana berasal dari “keluarga maju”
Pada usia delapan tahun, Rohana sudah mahir menulis, baik aksara Latin, Arab, maupun aksara Arab-Melayu (huruf Jawi). Pada 1896, ketika berumur 12, ia sudah mengajar teman-teman gadis di kampungnya dalam bidang membaca dan menulis huruf Arab dan Latin. Ia juga menjadi guru agama untuk teman-teman dan anak-anak di tempat tinggalnya. Selain itu ia juga mengajarkan ketrampilan rumah tangga seperti menjahit dan menyulam.
Pada 1905 Rohana mendirikan “Sekolah Gadis” di Kota Gadang, yang kemudian pada 1911 diubah namanya menjadi “Sekolah Kerajinan Amai Satia” Pada 10 Juli 1912, ia ikut mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi surat kabar Soenting Melajoe di Padang. Sebenarnya pada 1903, Tirto Adhi Soerjo sudah membuat koran Poetri Hindia sebagai surat kabar perempuan pertama. Tetapi koran perempuan yang didirikan oleh perempuan yang pertama adalah Soenting Melajoe.
Rohana seringkali mengalami benturan sosial dengan pemuka agama, adat, dan masyarakat. Maka dengan terpaksa Rohana meninggalkan kampung halamannya pindah ke Bukittinggi. Pada tahun yang sama, Rohana Kudus membentuk organisasi ‘Kerajinan Amai Setia’, dengan menghimpun para perempuan untuk diberi bekal keterampilan yang merupakan permulaan industri rumah tangga di Sumatra Barat. Pada 1915 organisasi ini dapat pengakuan hukum dari Pemerintah Hindia Belanda dan sampai sekarang pusat keterampilan ini masih eksis sebagai pusat penjualan hasil kerajinan khas Minangkabau yang berlokasi di Koto Gadang, Bukittinggi.
Di Bukittinggi, Rohana mendirikan Rohana School. Sekolah ini tidak hanya terkenal di Bukittinggi tapi juga di daerah lain, karena Rohana sudah terkenal dengan karyanya dan jabatannya sebagai pemimpin redaksi Soenting Melajoe. Rohana Kudus juga pernah memimpin surat kabar Perempuan Bergerak di Lubuk Pakan, Medan, Sumatera Utara. Di Padang, ia menjadi redaktur surat kabar Radio yang diterbitkan Tionghoa-Melayu dan surat kabar Cahaya Sumatera. Melalui tulisannya, ia berusaha membuka mata perempuan, memberikan pemehaman dan pengajaran. Rohana juga pemah menulis pada beberapa surat kabar yang terbit di Pulau Jawa, seperti Mojopahit, Guntur Bergerak, dan Fajar Asia. Selain artikel, Rohana jyang fasih berbahasa Belanda uga menulis puis Atas jasa-jasanya di bdang pers, pada Hari Pers Nasional ke-3 tahun 1974, Siti Rohana Kudus dianugerahi penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia. Kemudian pada Februari 1987, ia dianegarahi penghargan sebagai Perintis Pers Indonesia, dan Bintang Jasa Utama pada 2008.
Rohana aktif dalam perintisan perhimpunan perempuan di Sumatera. Melihat tumbuh subur berdirinya organisasi perempuan di tanah Minang, ia berinisiatif untuk mewadahinya dan menjadi motor pendeklarasian perhimpunan Sarikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS) sebagai wadah pemersatu berbagai organisasi perempuan Sumatera. SKIS resmi dibentuk di Padang pada 1911. Rohana mendirikan persatuan organisasi perempuan ini jauh sebelum Kongres Perempuan Indonesia digagas, yang baru terlaksana pada 22-25 Desember 1928.
Kegemilangan Rohana pun cepat tersiar, sehngga ia diundang ke Eropa dalam acara Internationale Tentoonstelling yang dihelat di Brussel, Belgia, pada 1913. Internationale Tentoonstelling adalah ajang pameran kerajinan tahunan yang diikuti oleh peserta dari banyak negara. Ini adalah kesempatan emas Rohana untuk memamerkan sulam terawang karya perempuan Kotogadang agar dikenal luas. Namun, karena tersiar fitnah, ia batal pergi ke Eropa.
Bagi Rohana, perempuan harus cerdas seperti lelaki, tapi bukan untuk mengalahkannya. Seperti yang diucapakan Rohana, “perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibanya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan.”Siti Rohana Kuddus wafat pada 17 Agustus 1972 di Jakarta. pada usia 88 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet, Jakarta. Dan 47 tahun kemudian, tepatnya pada 8 November 2019, Presiden Joko Widodo menganugerahinya Pahlawan Nasional bersama lima tokoh lainnya: KH Abdul Kahar Mudzakkir, AA Maramis, KH Masykur, Sardjito, dan Sultan Himayatuddin