Tasawuf

Manunggaling Kawula- Gusti

Perpaduan atau sinergi antara ruh yang memiliki Pikiran Bawah Sadar dengan tubuh yang dilengkapi nafsu, akal dan kalbu, menghasilkan jiwa. Jiwa inilah yang kelak kembali ke Kerajaan Akhirat untuk mempertanggung-jawabkan kehidupan kita.

Demikianlah, apabila segenap komponen manusia dapat berfungsi serta bersinergi dengan baik, dan mampu membangun diri menjadi jagad besar, maka jiwa mampu masuk ke alam jabarut dan berlangsunglah apa yang kemudian disebut manunggaling kawulo-Gusti. Manusia menyatu dengan Tuhannya, dalam arti jiwa manusia mampu menyatu dengan kehendak Allah, mampu melaksanakan tugas-tugasnya selaku wakil dan utusan Allah di muka bumi. Kehidupannya di dunia bagaikan lahan pertanian yang diolah dengan baik sehingga menghasilkan panen sebagai bekal kehidupan abadi di Kerajaan Akhirat.

Terminologi kawulo (hamba) – Gusti (Tuhan) dimaksudkan untuk menggambarkan hubungan manusia  dengan Sang Pencipta. Dengan memahami dirinya sebagai kawulo atau abdi (yang berasal dari kara bahasa Arab ‘abd),  maka manusia harus rendah hati terhadap sesama, serta taat dan tunduk sepenuhnya kepada Gustinya, kepada tuannya yaitu Allah Swt.

Dalam cerita wayang semua itu digambarkan dengan tokoh Bima yang tinggi besar, masuk ke dalam tubuh tokoh seorang dewa yang berbentuk dan rupanya sama seperti Bima tapi sangat kecil, yaitu Dewa Ruci.

Jiwa akan memiliki energi kehidupan yang besar dan efektif luar biasa, bila Pikiran Bawah Sadar dari ruh dapat bersinergi dengan Pikiran Sadar dari akal pikiran. Akan tetapi sinergi keduanya tidak akan mampu mencapai tahap manunggaling kawulo-Gusti, tidak akan bisa membuat manusia menjadi jagad besar, bila sinergi itu tidak didukung oleh komponen-komponen dasar kehidupan lainnya sesuai dengan jalan dan kehendak Allah.

Untuk itu Pikiran Bawah Sadar tanpa jemu harus sering kita format ulang atau selalu disegarkan, diberi landasan pikiran tentang nilai-nilai kebajikan. Terus menerus diisi dengan kalimat-kalimat zikrullah. Harus senantiasa dibuat eling, diingatkan perjanjiannya dengan Gusti Allah, khususnya mengenai tugas dan fungsi kemanusiannya untuk hamemayu hayuning bawono. Setiap hari di kala tidur, ruh dengan Pikiran Bawah Sadarnya seyogyanya kita tugasi untuk sejenak pulang kampung melepas kerinduan ke Sang Maha Pencipta sekaligus memohon mandat, taufiq, hidayah, berkah, rahmat dan ridho-Nya agar dapat lulus melampaui ujian-ujian perjalanan kehidupan.

Sering orang menyalahartikan, manunggaling kawulo-Gusti sebagai menyatunya Zat Allah ke dalam diri manusia yang bersangkutan. Keadaan yang seperti itu membuat yang bersangkutan sakti penuh karomah, dan masya Allah, karena Tuhan dan dirinya sudah menyatu maka sudah tidak perlu mengerjakan salat lagi. Nauzdubillah.

Orang awam hanya melihat sang hamba, lebih pada kesaktian dan karomahnya saja. Memang, makhluk mana yang berani kepada sang hamba yang sudah menyatu dengan Tuhannya? Dan Pangeran mana yang tidak sayang serta menuruti permohonan hamba kinasih-Nya? Sayangnya, hamba yang benar-benar seperti itu, sesungguhnya dia tidak butuh apa-apa lagi di dunia ini, kecuali kasih dan ridho-Nya. Dia sudah amat puas dengan dirinya, apa adanya. Sudah tidak terpengaruh dengan gelombang perubahan keadaan, dan tidak tergoda pesona dunia.

Yang justru selalu diinginkan adalah agar Tuhan melalui segala kehendak dan sifat-sifat kemulian-Nya, senantiasa bersemayam dalam dirinya. Ia senantiasa khawatir tapi penuh harap, agar tanpa henti terus bisa meneladani sifat-sifat Pangerannya, sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk.

Menyinergikan cipta, karsa, rahsa (lihat kembali “MuslimJawa Berlatih Mengasah Kalbu” serta “Mengendalikan Nafsu, Mengolah Cipta, Rahsa dan Karsa”)), menyatukan kehendak, menyatukan segala pikiran, hawa nafsu dan perbuatannya dengan kehendak, perintah dan sifat-sifat Allah inilah yang dimaksudkan dengan manunggaling kawulo-Gusti. Jadi ada upaya aktif terus-menerus dari sang hamba sampai ajal menjemput untuk taat, tunduk dan patuh, mengerjakan tugas dan perintah Allah serta meneladani sifat-sifat-Nya.

Al Ghazali dalam Raudhatut Thalibien wa ‘Umdatus Saalikien atau Raudah, Taman Jiwa Kaum Sufi, menggambarkan suasana penyatuan antara sang hamba dengan Sang Pencipta tercapai tatkala zat sang hamba mencapai tahap fana’.Sifatnya telah sirna dan kefanaannya lebur dalam keabadian-Nya. Maka bagi sang hamba bisa berlaku “dengan diri-Ku ia mendengar dan dengan diri-Ku ia melihat.” Jadilah Dia yang melimpahkan kewalian sang hamba dan menjadi wali atau kekasih sang hamba. Jika sang hamba berkata, maka berkata dengan zikir-zikir-Nya. Jika memandang dengan cahaya-cahaya-Nya. Jika bergerak maka akan bergerak dengan kekuasaan-Nya. (Islam Mencintai Nusantara, Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, halaman 120).

Sunan Kalijaga, salah seorang wali keramat di tanah Jawa mengajarkan, untuk mencapai tingkat manunggaling kawulo-Gusti, orang harus mengerjakan salat daim. Hakikat makna salat dalam hal ini adalah ingat akan Allah terus-menerus tanpa henti. Mengingat keagungan dan berbagai kemuliaan Allah sambil bekerja, sambil bersilaturahmi, sambil makan, sambil tidur, serta berbagai aktivitas kehidupan lainnya. Cara melatihnya dilakukan dengan senantiasa membiasakan berzikir, bertahlil, laa ilaaha illallaah atau boleh ya-hu Allah, saja. Mula-mula secara lisan, namun selanjutnya lebih banyak di dalam hati, mengiringi denyut nadi kita, menyertai detak jantung dan nafas kita. Menyertai seluruh pikiran, gerak-gerik, ucapan, perbuatan dan pekerjaan kita. Menyertai tangan kita tatkala mengengemudikan kendaraan. Menyertai tangan kita tatkala mengayunkan cangkul. Menyertai ucapan kita tatkala sedang bersidang atau berpidato. Menyertai sentuhan jari kita pada huruf-huruf di komputer atau telpon genggam dan lain sebagainya.

Apakah boleh berzikir dengan kalimat-kalimat zikir yang lain? Tentu saja boleh, karena sebenarnya maksud dan tujuan, atau bahkan yang dimaksud dengan salat daim di sini ialah senantiasa mengingat Allah serta melibatkan-Nya dalam setiap pikiran, perbuatan dan urusan. Seorang hamba akan selalu memperoleh perkenan Tuannya, apalagi melibatkan Tuannya dalam setiap denyut kehidupan sang hamba, adalah apabila sang hamba mampu menyatukan kehendaknya dengan kehendak sang Tuan; taat, tunduk dan patuh pada perintah tuannya, melaksanakan perintah tuannya dengan segenap jiwa-raganya.

Maka marilah kita senantiasa berlatih untuk memandang semua yang tergelar di jagad raya ini, dengan pandangan-Nya yang penuh limpahan kasih sayang, dan memikirkan, memperlakukannya dengan memohon hidayah keagungan ilmu serta limpahan kekuasaan-Nya.

Subhaanallaah, walhamdulillaah, walaa ilaaha illallaah, Allaahu Akbar. Walaahaula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim. (Seri Tulisan “Orang Jawa Mencari Gusti Allah”).

About the author

Avatar photo

B.Wiwoho

Wartawan, praktisi komunikasi dan aktivis LSM. Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat (1996 – 2001, 2019 - sekarang), penulis 40 judul buku, baik sendiri maupun bersama teman. Beberapa bukunya antara lain; Bertasawuf di Zaman Edan, Mutiara Hikmah Puasa, Rumah Bagi Muslim-Indonesia dan Keturunan Tionghoa, Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Operasi Woyla, Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar, Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 serta Pancasila Jatidiri Bangsa.

Tinggalkan Komentar Anda