Para sufi atau lebih dikenal dengan sebutan para wali, tatkala berdakwah di Pulau Jawa berhadapan dengan masyarakat Hindu-Budha atau Syiwa – Budha yang sudah memiliki tradisi budaya serta pranata sosial cukup mapan. Oleh karena itu Islam tidak diperhadapkan dan tidak dipertentangkan secara langsung dengan kepercayaan masyarakat, melainkan disusupkan sampai kemudian menjiwai kepercayaan tersebut. Sebagai contoh, kepercayaan untuk memberikan sesaji kepada dewi penguasa pertanian yaitu Dewi Sri, diubah menjadi sedekah bumi atau zakat-infaq hasil bumi yang dibagikan kepada masyarakat.
Metode dakwah yang paling tepat untuk dipakai pada saat itu adalah metode tasawuf para sufi dengan empat tanjakannya yang terkenal yaitu syariat, tarekat atau jalan, hakikat dan makrifat. Tetapi agar tidak diperhadapkan secara langsung dengan kepercayaan Hindu-Budha, maka syariat yang seharusnya menempati tahapan pertama, justru diletakkan pada tahapan terakhir.
Oleh sebab itu tidak heran jika penganut Islam Kejawen menempatkan masalah ikhsan yang merupakan pembahasan dari ilmu tasawuf pada prioritas pertama, kemudian diikuti dengan iman sebagai pembahasan ilmu tauhid dan baru disusul dengan Islam yang merupakan obyek ilmu fikih. Ikhsan yang merupakan dimensi mistis dan batin, diajarkan lebih dulu dibanding dimensi hukum sekaligus dimensi lahir.
Hal itu sudah barang tentu sering membingungkan orang Islam kebanyakan yang mempelajari secara kronologis berdasarkan hadis Kanjeng Nabi Muhammad, yang sewaktu sedang dalam kerumunan orang banyak tiba-tiba didatangi seorang laki-laki (yang ternyata Jibril), yang menanyakan tentang iman, kemudian tentang Islam dan terakhir baru bertanya tentang ikhsan.
Iman memberikan landasan berupa kepercayaan akan adanya Tuhan yang bersifat dengan segala kesempurnaan. Islam merupakan teori hukum yang mengatur tata cara beribadah kepada Tuhan, sedangkan ikhsan mengajarkan bagaimana kita beradab kepada Tuhan, bagaimana sikap kita dalam mengabdikan diri terhadap-Nya, sehingga seakan-akan kita melihat-Nya.
Metode pembelajaran yang terbalik itu pulalah yang kemudian menyebabkan sebagian dari penganut Islam Kejawen, yang merasa sudah menguasai ilmu hakikat atau pandangan dari perbuatan hati, dan makrifat atau mengenal Tuhan dengan sebenar-benarnya mengenal, tidak lagi merasa perlu melaksanakan salat lima waktu. Padahal hamba Allah manakah yang pengenalannya terhadap Tuhan melebihi pengenalan Kanjeng Nabi Muhammad? Tentu tidak ada. Meskipun demikian toh Kanjeng Nabi tetap menjalankan salat lima waktu ditambah berbagai salat sunat terutama salat tahajud atau salat malam.
Berbagai literatur Islam Kejawen yang bersumber dari para wali dan pujangga-pujangga keraton, sesungguhnya secara gamblang juga telah mengajarkan keterkaitan dari syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Keempat tanjakan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisah. Serat Centini yang dianggap sebagai ensiklopedi sastra Islam Kejawen, menegaskan hal itu. Hakikat yang meninggalkan syariat akan berbahaya dan bisa menimbulkan keburukan, bahkan bisa disebut kafir.
Kitab Wulangreh yang lebih tua dari Centini (Wulangreh ditulis oleh Pakubuwono IV, sedangkan Centini oleh Pakubuwono V) sementara itu mengajarkan bila kita ingin berguru mencari ilmu, disamping harus meneliti budi pekerti sang guru juga harus menyaring dengan seksama ilmu yang diajarkan dengan empat hal yaitu Al Quran, hadis, ijmak dan kiyas. Pun harus diwaspadai, orang yang mengajak meninggalkan syariat termasuk salat, lantaran merasa sudah menguasai segala macam ilmu, lebih-lebih yang tak peduli halal dan haram. Sebab akan rusaklah seluruh tatanan kehidupan nanti. Naudzubillah. (Seri Tulisan “Orang Jawa Mencari Gusti Allah”).