Tasawuf

Pakaian Keimanan

Kata agama, menurut Kamus Jawa Kuno – Indonesia ( P.J.Zoetmulder dkk, Penerbit Gramedia Pustaka), berasal dari  bahasa Sansekerta yang berarti doktrin atau aturan tradisional yang suci. Dalam bahasa Jawa halus atau kromo inggil, agama diucapkan menjadi agami, yang juga mempunyai arti bermaksud pergi atau jalan. Agami juga dimaknai sebagi akronim dari agemaning iman, yang berarti pakaian keimanan.

Orang hidup, menurut kedua orangtua saya, wajib memeluk agama, yaitu jalan dan sekaligus pakaian keimanan menuju Gusti Allah, Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Tunggal) lagi Maha Kuasa (Sang Hyang Wenang). Sebagaimana lazimnya priyayi Jawa yang Islam Abangan, kedua orangtua saya percaya, Tuhan dari semua umat manusia itu sama dan satu jua adanya. Agamalah yang kemudian membuat kita berbeda jalan. Ada jalan yang lurus dan dapat langsung ke tujuan, ada yang berbelok-belok, ada yang berputar-putar, keluar masuk jalan besar, jalan kecil, terjal, salah jalan dan sebagainya. Kewajiban kita hanya memberitahu dan mengingatkan, tapi tidak boleh memaksa meskipun terhadap anak kandung sendiri. Karena setiap orang, telah memperoleh peran kehidupannya masing-masing, dan anak hanyalah titipan Allah kepada kedua orangtuanya. Bukan miliknya. Lagi pula tiada paksaan dalam agama. Gusti Allah Yang Maha Kuasa saja tidak menetapkan semua umatnya memeluk satu agama yang sama. Apalagi kita umatnya yang lemah. Justru perbedaan itulah yang akan menguji manusia, siapa yang taat kepada Gusti Allah dan siapa yang tidak. Bukankah Tuhan sudah menciptakan surga dan neraka? Baik dan buruk, lapar dan kenyang, panas dan dingin? Semuanya berpasangan. Surga dan neraka diciptakan untuk diisi. Marilah kita berupaya untuk menjadi penghuni surga tanpa mengklaim diri sebagai pemegang kunci surga.

Kedua orangtua saya sungguh taat azas dalam memegang prinsip kebebasan beragama. Akibatnya dari sepuluh orang anaknya, enam orang memeluk Islam, dua orang Kristen dan dua orang lagi sempat memeluk Khatolik tapi kemudian setelah dewasa kembali ke dalam Islam. Uniknya keluarga kami, tatkala masih

satu atap dan belum ada yang berumahtangga sendiri, di bulan Ramadhan, semuanya berpuasa tanpa kecuali.

Di hari tua beliau, ketika pada suatu waktu saya pulang ke rumah dan menemani almarhum ayah salat Jumat, saya terus memperhatikan dan mengamati kekhusyukan ayah dalam berzikir sambil menanti azan Jumat yang masih lebih dari tiga puluh menit. Sesungguhnya saya ingin bertanya, apakah beliau bahagia dengan keyakinannya untuk memberikan kebebasan beragama kepada anak-anaknya. Tapi ternyata saya tidak memiliki keberanian untuk melakukannya, bahkan sampai kedua orangtua saya menutup mata.

Demikianlah agama atau agami yang berarti jalan menuju Tuhan menurut keyakinan Islam Kejawen. Secara historis kultural, pemahaman tentang jalan menuju Tuhan ini bisa dimaklumi karena orang Jawa mempelajari Islam dari literatur dan praktek-praktek kehidupan sufistik terlebih dahulu, baru menyusul kemudian mempelajari syariat dengan fikihnya. Subhanallah walhamdulillah. (Seri Tulisan” Orang Jawa Mencari Gusti Allah.”).

About the author

Avatar photo

B.Wiwoho

Wartawan, praktisi komunikasi dan aktivis LSM. Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat (1996 – 2001, 2019 - sekarang), penulis 40 judul buku, baik sendiri maupun bersama teman. Beberapa bukunya antara lain; Bertasawuf di Zaman Edan, Mutiara Hikmah Puasa, Rumah Bagi Muslim-Indonesia dan Keturunan Tionghoa, Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Operasi Woyla, Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar, Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 serta Pancasila Jatidiri Bangsa.

Tinggalkan Komentar Anda