Mutiara

Legenda yang Melahirkan Legenda

Kiai yang melahirkan  ulama dan pujangga Tanah Jawa ini membuat luluh Paku Bowono IV. Belanda menuduhnya pembangkang dan suka main hakim sendiri. Mengapa?

Tahun 1800-an, Pesantren Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur, merupakan pesantren terbesar di Jawa. Ribuan santri yang mondok di pesantren yang  dipimpin Kiai Hasan Besari (Kasan Besari dalam pengucapan orang Jawa) ini berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa. Banyak putra bupati dan bangsawan baik dari Keraton Surakarta, Yogyakarta, maupun Mangkunegara.

Salah seorang di antara mereka adalah Bagus Burhan, yang kemudian terkenal dengan nama Raden Ngabehi Ronggowarsito (1802-1873), berguru dan nyantri selama beberapa tahun (baca: Bintang Zaman “Perjalanan Spiritual Ronggowarsito”). Bagus Burhan adalah cucu Kiai Yasadipura II yang punya hubungan akrab dengan Kiai Hasan Besari.  Sejak kecil hingga masa tuanya, selalu bekerja-sama, termasuk saat penyusunan naskah Serat Centhini – ensiklopedi pengetahuan Islam di Jawa dalam seribuan halaman – yang dikerjakan atas inisiatif bersama dengan Sunan Paku Buwono IV (1788-1820).  Selain Ronggowarsito, ada pula santri Kiai Hasan Besari yang terkenal. Yaitu Bagus Darso atau Kiai Abdul Mannan Dipomenggolo, pendiri Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur, di tahun 1830. . Ada pula santri beliau bernama Kiai Mujahid yang kemudian menjadi pengasuh Pesantren Sidoresma, Surabaya.

Kasan Besari lahir sekitar tahun 1760-an. Ia  adalah cucu pendiri Pesantren Tegalsari, Kiai Ageng Muhammad Besari (wafat 1773). Ayahnya adalah Kiai Ilyas (wafat 1800) yang melanjutkan kepemimpinan pesantren pasca wafatnya sang pendiri. menghabiskan masa mudanya berguru kepada ayah dan kakeknya sebelum akhirnya memegang tampuk kepemimpinan pesantren mulai tahun 1800 hingga wafatnya. Selama nyantri sama kekeknya, Kiai Hasan Besari satu seperguruan dengan pujangga kenamaan  Yasadipura II (wafat 1844).

Kasan Besari tidak disenangi oleh Pemerintahan Belanda, baik VOC maupun setelah berubah menjadi Pemerintahan Hindia Belanda. Kasan Besari berusaha untuk menegakkan hukum Islam di Tegalsari, yang merupakan desa perdikan. Penegakan hukum Islam tersebut bertujuan untuk menciptakan masyarakat lebih tertib, aman, dan lancar. Namun demikian, tindak tegas ini mengandung resiko karena bermunculan kelompok-kelompok masyarakat yang kurang senang. Pemerintahan Hindia Belanda menyatakan bahwa tindakan Kasan Besari adalah salah dan bertentangan dengan hukum yang berlaku. Kemudian Kasan Besari dituduh sebagai pembangkang dan suka main hakim sendiri.

Paku Buwono IV (1788-1820) yang sudah termakan hasutan Pemerintah Belanda, memanggil dan menghukum Kasan karena dianggap melanggar aturan. Kasan Besari ditahan di penjara Surakarta untuk sementara waktu. Pemerintah memutuskan Kasan Besari akan dihukum selong atau dibuang atau diasingkan ke luar daerah. Rencananya Kasan Besari akan dibuang ke luar Jawa tapi anehnya setiap kapal yang akan membawanya berlayar dari Batavia a tidak bisa jalan begitu ia naik. Hal tersebut terjadi berulang-ulang. Murid-murid atau santri Kasan Besari juga melakukan protes dan meminta pembebasan untuk Kasan Besari yang menurut mereka tidak bersalah.

Akhirnya Kasan Besari kembali ditahan di Keraton Surakarta tapi ditempatkan di masjid. Diceritakan, sSuatu saat, Keraton mengadakan sholawatan. Kiai Kasan Besari ditunjuk sebagai imam. Suaranya membuat Paku Buwono IV, yang terkenal dengan bukunya Wulanggreh, terpikat kepadanya. Kasan Besari bukan hanya dibebaskan, tapi juga dikawinkan dan  diambil menenatu oleh Paku Buwono IV. Ia dinikahkan dengan Raden Ayu Cokrowioto, kemenakan Susuhan.

Setelah  itu Kasan Besari memboyong istrinya yang putri Keraton itu ke Tegalsari. Salah satu sumbangan istri Sang Kiai adalah masuknya ilmu keterampilan membatik ke dalam pesantren. Waktu itu seni membatik baru terbatas dalam kehidupan keraton. Ketika sang istri beserta pengiringnya dari istana memperkenalkan batik, para santri pun – terutama santri-santri putri – ikut belajar membatik, sehingga menjadi bagian dari ilmu yang dipejari di Pesantren Tegalsari. Sejak itu masyarakat Ponorogo pun merasakan dampak yang besar yang diberikan keterampilan batik ini bagi kehidupan perekonomian mereka.

Kiai Kasan Besari wafat pada 9 Januari 1862, dan Pesantren Tegalsari lambat laun mengalami kemunduran sebelum akhirnya punah. Namun, di antara anak turun Kiai Kasan Besari, ada yang membuka pesantren baru sebagai pengembangan dari Pesantren Tegalsari di daerah Gontor, Ponorogo. Pesantren yang bermula bercorak salafiyah sebagaimana pesantren induknya ini, kemudian dikembangkan oleh tiga bersaudara, yang keseluruhannya merupakan keturunan Kasan Besari, yaitu Ahmad Sahal, Zainuddin Fanani, dan Imam Zarkasy. Itulah Pondok Moderen Gontor Ponoroga yang masyhur itu

About the author

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda