Di samping dikemas dalam berbagai bentuk tembang atau nyanyian, mulai dari nyanyian kanak-kanak yang jenaka dan gembira, nyanyian-nyanyian populer untuk masyarakat kebanyakan serta nyanyian halus berkelas atas bagaikan musik klasik, dakwah juga disampaikan dalam bentuk aneka seni pertunjukan dan mendongeng dengan iringan alat-alat musik yang sangat sederhana misalkan alat musik perkusi atau terbang dan kendang.
Di masa kecil, saya senang sekali mendengarkan para pendongeng kisah Prabu Anglingdarmo, Wong Agung Menak dengan Amir Hamzah dan Puteri Johar Manik serta Kanjeng Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya, yang dilantunkan secara indah di perhelatan-perhelatan keluarga, misalkan acara khitanan dan perkawinan. Pendongeng-pendongeng itu amat menyentuh perasaan saya, karena mereka seperti betul-betul menghayati tokoh serta kisah-kisah yang dituturkannya. Seni pertunjukan tersebut kami sebut kentrung, lantaran sebentar-sebentar sang pendongeng mengiringi penuturannya sembari memukul rebana besar dan perkusi yang berbunyi trung-trung-trung.
Sayang sekali, seni kentrung ini sekarang sudah hilang dari keseharian. Karena itu tatkala saya memperoleh kesempatan menjadi salah satu panitia inti Festival Istiqlal tahun 1990 dan 1995, saya menikmati betul acara-acara seni pertunjukan rakyat yang bernafaskan Islam, yang sudah sulit dijumpai termasuk seni kentrung tersebut.
Dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional tanggal 10 Pebruari 2001, saya mendapat amanah dari Panitia untuk menyelenggarakan acara “Renungan & Doa Untuk Bangsa”. Dalam acara yang berlangsung di bangsal utama Istana Keraton Kasunanan Surakarta itu kami tampilkan seni pertunjukan karawitan, atau seni musik Jawa, khas keraton akhir abad ke-19 yang sudah lama tidak dipertontonkan kepada umum. Dengan latihan intensif hanya selama 1 (satu) minggu didukung oleh sejumlah santri, karawitan dengan kidung-kidung dakwahnya itu memperoleh sambutan gegap gempita dari hadirin yang berasal dari berbagai suku bangsa. Salah satu contoh adalah Kidung Santi Mulya yang kami jadikan penutup sub judul Sinkretisme Jawa di bagian depan. Contoh yang lain adalah Kidung Panolak yang juga merupakan karya Sinuhun Pakubuwono IX (1830 – 1893) sebagai berikut:
Gunane panolak iku
Ngedohken bebaya pati
Dhemit setan ora doyan
Durjana wedi mring kami
Artinya:
Manfaat (doa) penolak itu
menjauhkan marabahaya
demit (sejenis jin) setan tidak suka (maksudnya tidak berani)
durjana takut pada kami.
Kemudian disambung dengan shalawatan:
Ya Allah ya Rasulullah
Muhammad darasulullah
Madun Muhammad salallah
Muhammadun Rasulullah
Sementara kidung dinyanyikan, para santri dengan lembut mengumandangkan dzikir secara berulang-ulang: Yaa hayyu yaa qoyyum. Laa ilaaha illaa anta subhaanaka innii kuntu minazhaalimiin.
Pada masa sekarang, kita patut bersyukur, mulai kembali bangkit seniman-seniman dakwah seperti Emha Ainun Najib dengan Kelompok Kyai Kanjeng-nya, GM Sudarto (almarhum), Opick dengan lagu-lagu dakwahnya yang langsung populer, Kelompok Debu serta Orkes Puisi Sampak GusUran yang dipimpin oleh sohib Gus Anis Sholeh Ba’asyin. Saya berharap, lebih dari sekedar tontonan, Allahumma amin mereka memperoleh hidayah untuk senantiasa menjadi tuntunan bagi masyarakat.
Coba mari kita hayati lagu Tombo Ati ini:
Obat hati ada lima perkaranya
Yang pertama baca Qur’an dan maknanya
Yang kedua salat malam dirikanlah
Yang ketiga berkumpullah dengan orang saleh
Yang keempat perbanyaklah berpuasa
Yang kelima zikir malam perbanyaklah
Salah satunya siapa bisa menjalani
Moga-moga Gusti Allah mencukupi
Lagu Tombo Ati di atas pernah dipopulerkan oleh penyair Emha Ainun Najib, tapi meledak ke masyarakat sampai sempat menjadi ring back tone atau dering nada panggil, berkat penyanyi Opick. Adapun substansinya pada awalnya dirumuskan oleh tokoh sufi Ibrahim Al-Khawwash (wafat 904M) dalam kitab At Tibyan, kemudian diperjelas oleh ulama kelahiran Banten yang kesohor di Jazirah Arab pada sekitar 1880-an, yaitu Imam Nawawi Al-Bantani dalam bukunya “Nasehat Penghuni Dunia”. Sedangkan bagi masyarakat pesisir utara Jawa, lagu tersebut dikenal sebagai karya Sunan Bonang.
Demikianlah, nasihat bernas itu, terus mengalami pembaharuan dari masa ke masa mengikuti perkembangan zamannya.
Subhaanallaah
(Seri Tulisan “Orang Jawa Mencari Gusti Allah’).