Pada tahun 1980-an, kapitalisme menang atas komunisme. Tahun 1990-an kapitalisme sekali lagi menang atas demokrasi dan pasar bebas. Bagi sebagian orang yang tumbuh dan dibesarkan dengan keyakinan bahwa kapitalisme merupakan fondasi demokrasi dan pasar bebas, pasti akan terkejut saat mengetahui bahwa di dalam kapitalisme, demokrasi pun dapat dijual kepada penawar tertinggi; dan bahwa yang namanya pasar bebas itu sebenarnya direncanakan secara terpusat oleh mega-korporasi global yang ukurannya lebih besar dari banyak negara yang ada, dengan agen-agen resminya seperti IMF, WTO atau Bank Dunia.
Begitu kurang lebih kesimpulan yang diungkapkan David C. Korten dalam When Corporations Rule The World. Kegelisahan intelektual yang dialami Korten dalam mengamati dan mengalami perkembangan kapitalisme yang cenderung membabi buta dan nyaris tak terkendali, sehingga dianggap potensial mengancam masa depan kemanusiaan ini, telah mendorongnya (bersama beberapa intelektual yang punya keprihatinan yang sama) untuk menawarkan alternatif yang dilembagakannya dalam bentuk People Centered Development Forum (Forum Pembangunan yang Berpusat pada Rakyat).
Apa yang diungkapkan David C. Korten, yang lebih berbau intelektual idealis, secara diametral berhadapan dengan apa yang didengungkan oleh Francis Fukuyama, yang lebih terkesan sebagai seorang ideolog, dalam bukunya yang sempat menggegerkan: The End of History and The Last Man, yang mengkampanyekan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Fukuyama seperti menggaris bawahi apa yang sejak awal digembar-gemborkan oleh Margareth Thatcher (semasa menjadi Perdana Menteri Inggris di era 1980-an) sebagai There Is No Alternative (tak ada lagi alternatif) atau yang lazim disingkat TINA.
Fukuyama, yang malah bertindak bagai seorang Marxian, dengan logikanya sendiri meyakini bahwa akhir sejarah adalah kapitalisme dan demokrasi liberal. Bak seorang ideolog Marxian, karena dia meyakini semua kecenderungan ini sebagai sebuah determinan sejarah yang mesti berlaku dan tak bisa ditolak, sehingga membungkam semua upaya lain sebagai a-historis. Tentu saja usaha dan kritik seperti yang diusung oleh David C. Korten (dan banyak inteletektual yang lain) yang masih memberi ruang untuk perubahan dan alternatif dengan slogannya There Is Alternative (Masih Ada Alternatif) atau disingkat TIA, seperti dinafikan oleh model pola berpikir yang diintroduksikan oleh Fukuyama dan kawan-kawan.
Dominannya model berpikir semacam ini, tak urung menarik perhatian seorang pemikir post-modernis Perancis semacam Jacques Derrida untuk melibatkan diri dalam perdebatan tentang end-isme ini. Tentu saja ia menghajar habis cara berpikir Fukuyama, karena memberi jalan bagi dominasi dan hegemoni salah satu kekuatan. Derrida, dengan latarnya yang a-politis, kali ini bahkan tak ragu mendorong kekuatan intelektual kritis untuk mengoposisi cara berpikir yang tidak sehat ini, agar tercipta keseimbangan yang proposional diantara kekuatan-kekuatan yang ada.
Dominasi pola berpikir TINA inilah yang menggelisahkan banyak kalangan. Bukan hanya kalangan intelektual seperti di atas, tapi juga kalangan pergerakan dan aktivis LSM. Di Mesksiko ada gerakan fenomenal semacam Zappatista, yang dipimpin seorang tokoh yang sampai kini tak diketahui jati dirinya, karena selalu tampil eksentrik dengan menggunakan topeng ala Zorro dalam penampilan publiknya. Gerakan ini, yang pengaruhnya bahkan sampai ke Eropa, dengan gigih melawan globalisme.
Di banyak negara lain, terutama di negara-negara yang dikenal sebagai under-develoment countries, negara-negara terbelakang, keprihatinan macam ini mengeja-wantah dalam banyak gerakan. Sebagian terbesar diantaranya menggunakan wajah agama untuk mekristalisasi gerakannya. Sesuatu yang lantas gampang ditembak dengan isu fundamentalisme, radikalisme dan pada gilirannya dengan ‘momok’ terorisme’.
Kedigdayaan kekuatan TINA itu kini bahkan berada di tahap lanjut. Kelompok-kelompok kritis yang ada pun mereka jinakkan, pelihara dan kelola, menjadi asset untuk mengoperasikan tujuan mereka; bahkan isu agama pun mereka netralisasi dengan cara serupa.
Masalahnya: globalisme adalah ideologi ekonomi, dimana kepentingan-kepentingan perusahaan multi nasional dijadikan tolok ukur. Globalisasi sendiri adalah tindakan mengintegrasikan dunia dalam tolok ukur ini. Disini kita akan sungkan bicara soal pantas-tidak pantas, baik-buruk, apalagi benar-bathil; selama ukuran-ukuran ini tidak diaplikasikan dalam bahasa yang bisa ditimbang secara riil-obyektif-ekonomis. Yang berlaku kemudian adalah bahwa sesuatu harus disebut pantas-baik dan benar bila menguntungkan secara ekonomis; dan tidak pantas-buruk dan bathil bila merugikan secara ekonomis.
Inilah ideologi globalisasi, seperti sejak awal sudah diramalkan oleh banyak ahli (semacam Global Reach-nya Richard J. Barnet dan Ronald E. Muller, yang terbit 1974), dimana negara berubah, bukan lagi satuan nasionalisme politik dan ideologis, tapi satuan ekonomi-politik, yang berperan memfasilitasi dan menjadi kepanjangan tangan perusahaan multi nasional. Dalam kerangka inilah kini negara beroperasi, segala macam tindakannya akan didikte pertama-tama dan terutama oleh kepentingan-kepentingan semacam ini. Baik dalam tindakan diplomasi maupun tindakan perang.
Bagi kita, yang sekian lama didera krisis, akibat tekanan beroperasinya pola berpikir TINA; ada baiknya kalau mulai berpikir untuk mengembangkan suatu model pembangunan yang lebih rasional, lebih sesuai peta kultural dan geografis sendiri, lebih memberi ruang untuk menguji-cobakan alternatif-alternatif yang akrab dengan latar dan kebutuhan sendiri. Sehingga dengan satu dan lain cara, bisa mulai membebaskan diri (dalam proporsi yang rasional dan paling mungkin) dari cengkeraman konstelasi kekuatan TINA yang sampai dengan hari ini merajalela dengan beragam cara.
Masalahnya: punyakah kita pemimpin yang visioner dan inspiring, yang berani mengambil langkah bersama rakyat untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik, di tengah situasi dunia yang makin tidak akrab terhadap harapan macam ini?
