Mengenai isi kitab atau serat dan suluk yang dibuat pada awal penyebaran Islam di Jawa, tentu tiada gading yang tak retak. Ini bisa dimaklumi, pada masa itu belum ada percetakan massal seperti sekarang. Kitab-kitab rujukan terutama Al-Quran dan Hadis, pada umumnya dihafal di luar kepala.
Sementara itu di lain pihak, dakwah Islam di pulau Jawa diprakarsai oleh para penganut tasawuf, sebagian diantaranya adalah penganut faham Wahdatul Wujud dan Manunggaling Kawulo – Gusti, yang meyakini penyatuan antara hamba dengan Sang Pencipta. Oleh karena itu dalam beberapa hal, bagi saya kadang-kadang juga agak susah memahaminya, terutama suluk-suluk periode Demak. Nampaknya para Wali pembuatnya tidak ingin terjadi goncangan sosial budaya yang terlalu dahsyat, sehingga masih memakai simbol-simbol dan terminologi agama serta kepercayaan sebelumnya. Suluk-suluk periode Demak boleh disebut suluk-suluk transisi, baik dari segi isi maupun bahasanya.
Saya bersyukur pada periode 1984 sampai dengan 1999 memperoleh amanah untuk menangani kegiatan-kegiatan hubungan masyarakat, terutama menyangkut kebijakan-kebijakan publik pemerintah, baik ke dalam maupun ke luar negeri. Selama kurun waktu itu lebih dari seribu kegiatan dan kasus telah kami tangani, alhamdulillah dengan baik. Meskipun demikian, saya tetap saja kagum dengan cara-cara komunikasi masa para kyai Jawa di awal penyebaran Islam, yang saya nilai sangat luar biasa.
Dalam judul “Pengaruh Dongeng Sebelum Tidur”, sahaya telah menulis tentang sebuah lagu yang paling berkesan yang pertama kali saya ingat, yaitu “Ono Tangis” yang didendangkan ibu saya untuk menjelaskan kematian sebagaimana firman Tuhan dalam Surat An Nissa: 78.
Dalang wayang kulit ternama, almarhum Nartosabdo, dalam seni pertunjukannya juga sering mengajarkan turunnya berkah dan rahmat Allah yang dibawa oleh malaikat di malam hari, yang diperuntukkan bagi orang-orang yang suka mengurangi tidur, sabar dan menerima dengan ikhlas keadaan apa saja yang menimpanya, dalam bentuk tembang yang populer yang aslinya berbunyi sebagai berikut :
Aja turu sore kaki
Ana dewa nganglang jagad
Nggawa bokor kencanane
Isine donga tetulak
Sandang klawan pangan
Yaiku bagiyanipun
Wong melek sabar narimo
Memang menarik, bagaimana cara para ulama sekaligus pujangga-pujangga di masa lalu dalam berdakwah. Pujangga Keraton Surakarta Yasadipura dalam Kitab Nitiprana misalkan, mengajarkan larangan riba dengan menggambarkan pahitnya kehidupan orang yang suka riba, yaitu hidupnya tidak akan tenteram, sulit tatkala menghadapi sakaratul maut, dan gelap dalam kehidupan di akherat kelak.
Tentang riba saya mengamati semenjak kecil kehidupan rumah tangga kenalan dan sanak saudara yang melakukannya. Mereka hidup tidak tenteram, penuh percekcokan dan kesulitan, meskipun secara materi berkecukupan. “Bagaikan naik mobil Mercy namun senantiasa mbrebes mili (penuh tangis duka), maka lebih enak memikul (berjualan) dawet sambil berdendang ria,” demikian ungkapan filsuf Jawa terkemuka Ki Ageng Suryometaram.
Serat atau Kitab Nitiprana yang berarti Pedoman Hati, selanjutnya mengajarkan hal yang perlu dipahami dan dijadikan sebagai pedoman hati untuk mengembangkan budi pekerti serta perilaku terpuji. Kitab ini juga menerangkan 20 sifat Allah.
Subhaanallaah
(Seri Tulisan “Orang Jawa Mencari Gusti Allah”).