Embah Suro, pemimpin gerakan Ratu Adil dari Purwodadi, Jawa Tengah, dipercaya punya kesaktian meskipun dia tidak mengakui. Mengapa Pasukan RPKAD menghabisinya?
Embah Suro alias Eyang Suro mula-mula adalah seorang lurah, meneruskan jabatan yang sebelumnya dipegang ayahnya, di desa Nginggil, di bagian tenggara Kabupaten Purwodadi. Orang bernama asli Mulyono Surodiharjo ini juga seorang dalang dan dukun yang cukup terkenal di sekitartempat tinggalnya. Ketika namanya mulai kondang, dia dikenal sebagai guru yang berhasil mengupulkan sejumlah pengikut di markas besarnya di Nginggil. Sang lurah pun mendapat sebutan baru yaitu Embah Suro atau Eyang Suro Nginggil. Ramainya padepokan Eyang Suro Nginggil membuat desa Nginggil tampak seperti kota di tengah hutan. Terangnya pencahayaan malam membuat desa itu tampak semarak di tengah gelapnya malam.
Embah Suro yang lahir pada tahun 1921ini kemudian memproklamirkan dirinya sebagau pandita atau wali, dengan kemampuan melihat masa depan yang akan datang alias weruh sadurunge winarah. Begitulah, misalnya, ia pernah meramalkan bahwa pada akhir 1966 dan awal 1967 akan terjadi peperangan yang mengerikan di Jawa, yang disusul pembantaian massal dan pertumpahan darah secara besar-besaran.
Eyang Suro Nginggil merupakan pengagum dan pendukung berat Presiden Soekarno. Hal ini tampak ketika “Orang Sakti” ini memberikan wejangan kepada para pengikutnya, selalu digelorakan yel-yel “Hidup Soekarno !” dan diselingi dengan pekikan “Hidup PKI !” Ia punya pasukan pengawal pribadi bernama Barisan Sarinah dan Banteng Utuh.
Pada awal 1967 gerakan Embah Suro semakin besar, sehingga membuat pemerintah curiga. Maka, pada 5 Maret 1967 gerakan ini dihancurkan oleh pasukan RPKAD (kini Kopassus) di bawah komando Letnan Feisal Tanjung, kelak berpangkat jenderal dan menjabat Panglima ABRI.
Seperti dilapokan oleh seorang wartawan bernama Ramelan dalam bukunya Mbah Suro Nginggil (1967), peristiwa tersebut memakan korban sebanyak 70 pengikut Eyang Suro Nginggil. Jatuhnya korban ini membuat Eyang Suro Nginggil menyerah. Dalam kondisi tertawan, Eyang Suro Nginggil berdialog dengan Letnan Feisal. Dalam dialog itu, Letnan Feisal mencecar Eyang Suro Nginggil dengan pertanyaan tentang kesaktian sang Lurah. Pengagum Soekarno tersebut dengan rendah hati menjawab bahwa dia sama sekali bukan orang sakti. Usai dialog, pasukan RPKAD menganggap Embah Suro hendak melarikan diri. Akhirnya, ia ditembak.*** Sumber: Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil (1992).