Tembang-tembang Jawa terdiri dari beberapa jenis. Yang paling popular adalah tembang dolanan atau tembang untuk bermain anak-anak yang bernada gembira, serta tembang macapat yang bernada serius, beberapa diantaranya bernuansa meditatif – kontemplatif. Tembang macapat digunakan untuk menyampaikan cerita dan ajaran supaya tidak membosankan, tapi sebaliknya menyenangkan dan mudah dihafal serta dipahami. Perihal tembang macapat, penulis uraikan dalam buku ISLAM MENCINTAI NUSANTARA, JALAN DAKWAH SUNAN KALIJAGA. Tafsir Suluk Kidung Kawedar, Penerbit IiMAN, 2017.
Para wali yang sekaligus pujangga, menciptakan tembang-tembang macapat dengan berbagai irama agar kisah dan ajaran yang disampaikan tidak membosankan. Ada sebelas irama tembang macapat yang sekaligus menggambarkan tahap-tahap perjalanan kehidupan manusia, yaitu :
1. Mijil (keluar atau kelahiran)
2. Sinom (dari asal kata enom atau muda)
3. Maskumambang (ada yang memaknai masa penuh gejolak hidup,
sementara ada pula yang memaknai tahap tatkala ruh manusia belum
ditiupkan ke raganya).
4. Asmaradana(ulah asmara atau masa jatuh cinta).
5. Dandanggula (dendang tentang kemanisan hidup).
6. Durmo (bersiap-siap untuk mengundurkan diri alias masa pensiun).
7. Pangkur (masa untuk bersiap diri meninggalkan kehidupan dunia).
8. Gambuh (saat untuk memahami hakekat kehidupan dan hidup sesudah mati).
9. Megatruh (saat ruh meninggalkan jasad).
10. Pocung (saat kita sudah dipocong atau dibungkus kain kafan).
11. Kinanti (amalan yang kita bawa dan setia menyertai kita di akhirat).
Dalam perkembangannya irama-irama tersebut bertambah dua lagi yaitu:
12. Wirangrong (untuk menggambarkan peringatan atau kehati-hatian agar kita tidak wirang atau malu di kemudian hari)
13. Girisa (untuk menguraikan hal-hal yang tidak boleh dilanggar dalam kehidupan serta doa-doa pujian, agar kita takut atau giris berperilaku buruk)
Dalam serat atau kitab pendek yang tidak merupakan rangkaian cerita, jenis-jenis irama tersebut sering digunakan sesuai tahapan keadaan seperti yang digambarkan tadi. Namun dalam kitab-kitab yang panjang baik untuk cerita maupun ajaran, para pujangga tidaklah harus terpaku pada tahapan keadaan, melainkan bebas sesuai dengan cita rasa keindahan yang diinginkan. Kitab Wulangreh atau ajaran tentang perilaku karya Sunan Pakubuwono IV (1768-1820) misalkan, diawali dengan tembang Dandanggula, kemudian diakhiri dengan Sinom dan Girisa.
Demikianlah, ada alur kehidupan yang seyogyanya dijalani. Namun juga ada keleluasaan dan keluwesan dalam menyikapi keadaan.
Masya Allah.
(Seri Tulisan “Orang Jawa Mencari Gusti Allah”).