Di hari pertama, di wahyu pertama telah tertanam kemerdekaan jiwa, bahwa segala manusia ini sama!
Dalam wahyu yang pertama turun, mulailah dijelaskan kedudukan dan asal-usul manusia, dari apa manusia itu dijadikan Allah ; yaitu dari air saja, air yang mengalir laksana kanji, yaitu mani (Q.S. Al-A’laq ayat 2)
Dan yang menjadikan manusia dari air laksana kanji ialah Allah sendiri. Oleh sebab itu walaupun manusia itu maharajadirja, Fir’aun dari Mesir, Kisra dari Persia, Kaisar dari Romawi, Negus dari Abissina, walaupun dia bangsawan turun temurun, sundut bersundut (bergantian), tidak seorang pun derajatnya boleh disamakan dengan Tuhan, karena asal kejadian semuanya sama.
Nama Allah yang menjadikan manusia dari air mani itulah yang akan disebut, bukan nama manusia itu. Karena kejadian seluruh manusia tidak berbeda.
Di hari pertama, di wahyu pertama telah tertanam kemerdekaan jiwa, bahwa segala manusia ini sama!
Ini sudah mulai menanamkan revolusi dalam jiwa, sehingga tidak akan merasa segan takut lagi kepada sesama manusia karena pangkat, karena jabatan, karena dia raja, karena dia kaya.
Kemudia ditegaskan lagi kepada orang Quraisy sebagai kaum yang didatangi pertama dan didakwah pertama. Diberi ingat kepada mereka betapa Tuhan memberi mereka hidup subur di sekitar Ka’bah rumah pertama itu.
Di musim dingin mereka dapat musafir ke negeri Syam untuk berniaga. Panasnya padang pasir tidak terasa lagi kalau mereka berangkat ke Syam pada permulaan musim dingin, di sekitar bulan Oktober hitungan Matahari (Syamsyah), dan pulang ke Mekkah pada Maret atau April. Datang bulan Mei mereka bisa memetik hasil kebun mereka, sebab musim bunga telah datang. Kelak di musim panas di permulaan Juli mereka sudah boleh musafir pula ke Thaif, menghubungkan perniagaan menuju Arab Selatan (Yaman) akan melanjutkan pengiriman ke benua India.
Maka atas nikmat yang seperti ini sepatutnyalah mereka menyembah beribadat kepada Tuhan yang empunya rumah itu (Lihat Surat Al-Quraisy). Janganlah rumah itu disembah tetapi sembahlah yang empunya rumah.
Di sini pun sudah mulai jiwa merdeka itu ditingkaykan dan mulailah perasaan hati, jiwa dan akal di satu-padukan kepada Yang Maha Esa itu.
Dirumuskanlah Tauhid untuk ditanamkan dalam hati, ditanam uratnya dalam-dalam lalu diucapkan dengan lidah (iqrar), lalu dilaksanakan pada perbuatan:
La ilaha illal-Lah, Tiada Tuhan yang patutku sembah, melainkan Allah.
Kemudian ditanamkan lagi “Allahu Akbar”, Allah Yang Maha Besar! Penghabisan kebesaran, tidak ada yang lebih besar daripada itu lagi. Maka dengan sebab demikian, turunlah segala kebesaran-Nya itu.
Kebesaran alam, sejak matahari, bulan, bintang, dan bumi yang dikatakan “Malakutis samawati wal ardhi”, seluruh kekuasaan dan kebesaran langit dan bumi hana kecil saja. Yang besar hanyalah yang menciptakannya. (Bersambung).
Penulis: Hamka (Sumber: Dari Hati Ke Hati, 2002).