Dalam periode kedua kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo bukan hanya akan membentuk Kabinet Koalisi sebagaimana lazimnya, tetapi Kabinet Kolaborasi dengan merangkul Prabowo Subianto,lawannya dalam Pemilihan Presiden. Mengapa?
Pada Minggu Pon Wuku Prangbakat (kalender Jawa), 20 Oktober 2019, Joko Widodo dan K.H.Ma’ruf Amin telah bersumpah menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019 -2024. Mereka menjadi Presiden dan Wakil Presiden sesuai Keputusan Komisi Pemilihan Umum berdasarkan hasil Pemilihan Presiden, dengan komposisi 55,5% ( 85.607.362 suara) untuk Pasangan Jokowi – Kyai Ma’ruf dan 44,5% (68.650.239 suara) untuk Pasangan Prabowo – Sandi dari total Pemilih Terdaftar 190.770.329.
Keesokan harinya, Senin 21 Oktober 2019, Presiden Jokowi mulai memanggil sejumlah tokoh, dua di antaranya sangat menarik perhatian publik. Yang pertama, Tetty Paruntu – Bupati Minahasa Selatan, yang mengaku datang ke Istana atas panggilan Prof.Dr.Pratikno ( Menteri Sekretaris Negara 2014 – 2019), tapi ternyata tidak diterima Presiden Jokowi.
Kedua, Prabowo Subianto yang disertai oleh Wakil Ketua Umum Gerindra, Edhy Prabowo. Seusai pertemuan yang berlangsung hampir satu jam, Prabowo mengungkapkan jalannya pertemuan. “Saya baru saja menghadap Bapak Presiden RI yang baru kemarin dilantik. Saya bersama Edhy Prabowo, kami diminta untuk memperkuat kabinet beliau. Saya diminta membantu beliau di bidang pertahanan, ” kata Prabowo. Sementara mengenai posisi Edhy Prabowo, akan diungkapkan oleh Presiden Jokowi sendiri.
Dalam dunia politik praktis, mungkin ini merupakan yang pertama kali, Calon Presiden dari partai penantang diminta dan bersedia bergabung di dalam kabinet yang disusun oleh pemenang Pilpres. Di Amerika Serikat memang pernah terjadi hal yang hampir sama, tetapi berbeda dengan di Indonesia, karena masih dalam kubu partai yang sama. Pertama, tatkala pada tahun 1860 Presiden Abraham Lincoln merangkul pesaing-pesaingnya di dalam Partai Republik untuk duduk dalam kabinetnya. Mereka adalah William H.Seaward, Salmon P.Chase dan Edward Bates. Hal yang sama juga dilakukan oleh Presiden Barack Obama tahun 2009, dengan mengajak Hillary Clinton, penantangnya di dalam satu Partai yaitu Partai Demokrat, untuk menjadi Menteri Luar Negerinya.
Selama ini kita lazim mengenal apa yang disebut Pemerintahan atau Kabinet Koalisi, yang terdiri dari wakil-wakil partai politik yang bergabung atau bersekutu bersama semenjak kontestasi Pilpres. Sedangkan untuk Kabinet Kerja II (2019 – 2024) bukan hanya terdiri dari sekutu, melainkan juga dengan menggabungkan kekuatan lawan.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gabungan atau kerjasama antar semua unsur termasuk lawan atau musuh bukan lagi disebut sebagai koalisi tapi kolaborasi. Mengapa Presiden Jokowi harus melakukan kolaborasi?
Kabinet Koalisi akan kuat dan stabil apabila situasi dan kondisi masyarakat, bangsa dan negara juga stabil, aman dan kondusif, serta memiliki legitimasi yang kuat dan besar, yang antara lain ditunjukkan dengan Pilpres yang aman damai dengan angka kemenangan yang menyolok.
Apakah Pilpres yang baru lalu tidak demikian halnya? Kita anggap saja semua masalah di Komisi Pemilihan Umum, mulai dari Daftar Pemilih Tetap sampai dengan angka perolehan Pilpres, sudah jernih. Meskipun demikian kemenangan pasangan Jokowi – Ma’ruf sebesar 55,5% masih sangat tipis, sehingga belum akan cukup kuat untuk mengukuhkan kedudukan koalisi. Apalagi jika dilihat dari segi legitimasi berdasarkan jumlah peserta terdaftar, maka kemenangan Jokowi – Ma’ruf baru 44,8 %. Masih lagi jika harus memperhitungkan secara matang problem-problem pembelahan yang semakin tajam, yang timbul sebagai akibat dari sistem demokrasi dan Pilpres secara langsung yang berdasarkan UUD Amandemen 2002, yang dampak negatifnya sangat dirasakan dalam Pilpres 2019.
Dampak negatif tersebut terpaksa menjadi beban yang harus diatasi secara bijak oleh Pemerintahan/Kabinet Kolaborasi 2019 – 2024 mendatang. Beberapa indikasi yang perlu dikaji secara mendalam untuk dicarikan solusinya antara lain masalah-masalah (1) relawan dan buzzer kedua kontestan; (2) penduduk/pemilih serta pembangunan Jawa dan luar Jawa; (3) antara muslim dan non muslim termasuk kaum sekuler, bahkan antara sesama muslim; (4) antara pribumi dan non pribumi; (5) eks PKI, kelompok radikal dan lain-lain.
Di samping masalah-masalah tersebut, ada pula sejumlah masalah besar yang terkait dengan pembangunan, kependudukan dan perekonomian termasuk kewajiban-kewajiban membayar hutang negara, yang semua angka dan datanya dapat diketahui masyarakat secara mudah.
Masalah perekonomian misalkan, Bank Dunia pada bulan September lalu memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal merosot ke bawah 5 persen pada tahun 2020 mendatang. Tidak hanya itu, Bank Dunia juga memperingatkan parahnya arus modal asing yang keluar dari Indonesia, sejalan dengan risiko-risiko global, termasuk memanasnya perang dagang AS dan China. Perang dagang AS-China dan risiko-risiko geopolitik semakin memanas. Risiko disebut terjadi di banyak titik, mulai dari Brexit di Inggris, aksi unjuk rasa di Hong Kong, hingga Pemilu AS tahun depan.
Risiko-risiko tersebut berpotensi menyebabkan guncangan ekonomi negatif dan parahnya arus modal keluar, begitu besarnya yang belum pernah terjadi dalam satu dekade terakhir.
Bank Dunia menyatakan, ketergantungan kepada investasi asing baik di pasar saham maupun obligasi membuat Indonesia sangat rentan terhadap arus modal keluar ketika risiko global meningkat.
Berdasarkan bacaan dan perkiraan-perkiraan keadaan yang seperti itulah, maka langkah Presiden Jokowi untuk merangkul Prabowo dengan Gerindranya, serta kesediaan Prabowo untuk menerima rangkulan Presiden Jokowi membentuk kolaborasi Kabinet Kerja II, patut dihargai.
Meskipun derap langkah Kabinet Kolaborasi sudah mulai disinergikan dan diserasikan, jalan ke depan belum tentu berjalan mulus dan sertamerta memperoleh dukungan luas. Masih perlu kerja keras dan langkah-langkah bijak tapi tegas dalam mengatasi berbagai masalah yang diuraikan di depan.
Sementara itu para pendukung Prabowo yang kecewa sebagaimana bisa kita lihat di media sosial belakangan ini, juga perlu waktu dan bukti untuk kembali mendukungnya. Pasalnya, dalam kampanye Prabowo antara lain sudah menggelorakan sebuah semboyan yang diilhami semboyan perang yang mulai dikumandangkan pada masa awal-awal Islam, yakni “Isy kariman au mut syahidan atau hiduplah dalam keadaan mulia atau mati syahid”. Tentang keteguhan dalam memegang semboyan ini, banyak kisah yang meriwayatkan. Bagi masyarakat Aceh yang heroik, semboyan perang melawan Belanda itu dikumandangkan sebagai “Udeep saree matee syahid, hidup mulia atau mati syahid.”
Semoga Kabinet Kolaborasi mampu menjawab dengan baik semua tantangan tadi.