Kepanikan sering membuat orang kehilangan akal sehat dan melahirkan tindakan yang berlebihan dan tak terkontrol.
Ada kisah tentang seorang pekerja bangunan yang terkenal gampang panik. Suatu hari, saat dia bekerja di lantai lima belas sebuah bangunan, beberapa kawannya berteriak-teriak dari bawah ”Kasim! Kasim! Anakmu Rabiah meninggal karena kecelakaan!”
Mendengar teriakan ini, penyakit panik si pekerja langsung kambuh. Tanpa pikir panjang dia langsung lari dan melompat dari jendela (yang dikiranya pintu keluar). Tentu saja dia langsung melayang jatuh dari lantai 1ima belas tempat dia bekerja.
Saat mencapai lantai dua belas, dia baru ingat bahwa sebenarnya dia tak punya anak bernama Rabiah.
Saat mencapai lantai delapan, dia juga baru ingat bahwa dia belum pernah menikah, apalagi punya anak.
Nah, saat sudah mendekati tanah, dia baru benar-benar sadar bahwa namanya juga bukan Kasim.
Orang panik memang selalu bertindak dahulu, berpikir belakangan. Apalagi dalam kepanikan sebatang jarum bisa tampak seperti sebilah pedang, letusan petasan bisa dikira ledakan bom, guncangan tanah karena pohon tumbang bisa disangka gempa, dan seterusnya. Dan celakanya, reaksi orang panik justru dituntun oleh persangkaan-persangkaan semacam ini.
Tak mengherankan bila dalam kepanikan orang akan bertindak seolah sedang berhadapan dengan bahaya ledakan bom, meski sebenarnya yang dihadapinya cuma letusan petasan belaka; akan bereaksi seolah sedang menghadapi seekor harimau meski dihadapannya cuma seekor kucing. Akibatnya, seperti kata pepatah, kepanikanlah yang memandu kita untuk menyerang seekor semut dengan bom.
Orang gampang panik ketika keselamatan hidupnya atau apa yang dianggapnya sebagai bagian-bagian penting dari hidupnya tampak dalam ancaman. Inilah yang mendorong mereka nekad melabrak batas-batas dan memporak-porandakan tatanan; dan celakanya, ini semua bukannya membuat mereka selamat, tapi seringkali justru membawa mereka ke situasi sebaliknya: makin tidak selamat.
Tapi, itulah manusia: dimana ada kebuntungan, disitu muncul pencari keuntungan. Karena orang panik jelas akan cenderung kehilangan akal sehatnya dan bertindak ngawur, maka muncullah orang-orang yang sengaja merekayasa kepanikan agar dapat meraup sebesar-besar keuntungan dari sana.
Tentu saja ini bukan rahasia lagi, bahkan tampaknya sudah menjadi salah satu resep bagi pihak-pihak tertentu untuk menggolkan kepentingannya. Jadi, kecuali ada kepanikan yang muncul dari sebab-sebab ’alamiah’, ada juga kepanikan yang sengaja dipicu oleh sebab-sebab yang memang direkayasa. Dalam peristiwa-peristiwa ’besar’, baik skala nasional maupun internasional; model yang kedualah yang lebih sering muncul ke permukaan.
Seorang dokter yang gila atau dukun yang kesetanan bisa saja mengarang diagnosa ngawur, sehingga pasiennya panik dan ketakutan setengah mati. Akibatnya sang pasien akan melakukan apa saja dan mengeluarkan biaya berapa saja demi kesembuhannya.
Tak mengherankan bila apa yang acap kita sebut sebagai krisis, entah ekonomi entah politik atau lainnya, seringkali merupakan bagian dari upaya semacam ini. Kita baru punya kesempatan untuk meninjaunya secara jernih dan menyadari lubang-lubang jebakannya jauh setelah apa yang kita anggap krisis itu sendiri berlalu.
Saya tidak tahu, apakah pengamanan super ketat yang menyertai pelantikan presiden dan wakilnya kemarin adalah bagian dari kepanikan semacam ini. Yang jelas, kecuali para perancangnya, hanya mereka yang sejak awal berhasil mengambil jarak dari situasi yang dianggap ’krisis’lah yang selalu akan menang, atau setidaknya selamat dari akibat-akibat buruknya.
