Pergantian kekuasaan Syarif Mekah selalu diwarnai keruwetan dan kekacauan. Karena tidak punya aturan yang baku sebagaimana sistem pemerintahan Islam lainnya?
Sebelum dikuasai oleh Ibnu Saud pada 1825, yang selanjutnya menyatakan diri sebagai khadimul haramain (pelayan dua Kota Suci), Hijaz (Mekah dan Madinah) dikuasai oleh keturunan Ali ibn Abi Thalib. Di Mekah yang berkuasa adalah keturuan Husein ibn Abi Thalib, sedangkan yang di Mekah keturunan Hasan ibn Abi Thalib. Meski begitu yang menjadi pusat pemerintahan Hijaz adalah Mekah. Penguasa pertamanya adalah Ja’far ibn Muhammad ibn Al-Husain ibn Muhammad asy-Sya’ir yang pada n 358 H/968 M berhasil mendirikan pemerintahan di Mekah, menggantikan posisi penguasa sebelumnya yaitu Bani Ikhsyid. Ja’far pulalah yang kemudian menurunkan para syarif atau penguasa Mekah. Dengan demikian, pemerintah Ja’far merupakan awal berlakunya apa yang dinamakan Nizam al-Asyraf, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh keturunan para syarif. Yakni keturunan Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib tadi.
Selama pemerintahan para syarif semenjak berdirinya hingga masa Turki Usmani I telah terjadi beberapa pergantian dinasti, yang dalam karya-karya sejarah Mekah disebutkan dengan thabaqah (peringkat). Yakni thabaqah keturunan Ja’far ibn Muhammad ibn al-Husain (358H/968M – 455 H/1063 M), thabaqah keturunan Sulaiman al-Jun yang kemudian disebut Sulaimaniyyun (455 H/1063 M – 457 /1065 M), thabaqah keturunan Abu Hasyim Muhammad ibn Ja’far yang disebut Hasyimiyyah atau Hawasyim (457 H/1065 – 597 H/1201 M), dan thabaqah keturunan Qatadah yang berlangsung dari tahun 597 H/1201 M sampai berakhirnya Nizam al-Asyraf pada tahun 1344 H/1925 M.
Seperti halnya sistem kerajaan dalam Islam lainnya, sistem suksesi kepemimpinan para syarif juga tidak mempunyai aturan yang baku, yang bisa dijadikan tradisi, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Oleh karena itu, hampir dipastikan setiap terjadi peraihan kekuasaan, selalu ditandai dengan kekacauan dan keruwetan. Keruwetan itu semakin dirasakan ketika masa pemerintahan mereka semakin “tua”. Oleh karena itulah, hampir setiap kali suksesi, terjadi huru-hara, perang saudara dan sebagainya.
Seperti dikemukakan sejarawan Badri Yatim (1995) dalam penelitiannya mengenai sejarah sosial keagamaan di Hijaz tahun 1800-1925, di antara para syarif selalu tersimpan dendam. Sebab, berdasarkan hukum pewarisan, setiap syarif dapat mengaku berhak atas jabatan amir Mekah (penguasa politik Mekah). Setiap syarif dapat menganggap bahwa kekuasaan adalah miliknya, karena ayah atau kakek amir (syarif) yang sedang berkuasa, misalnya, telah merampas kekuasaan dari nenek moyangnya. Oleh karena itu tidak ada “hukum” yang dapat menghalanginya untuk mengembalikan hak yang sudah dirampas itu. Mereka berpendapat bahwa agama tidak menghilangkan hak untuk menuntut. Karena itu perpecahan selalu berulang. Sejarah nizam al-asyraf, menurut Badri Yatim, selalu diwarnai dan penuh dengan pertumpahan darah dan kekerasan.
Akibat perang saudara di antara para syarif, para pemilik toko menjadi sasaran perampokan setiap kali terjadi pertempuran, sementara penghuni rumah juga tidak merasa aman akan keselamatan harta benda mereka. Karena rumah-rumah itu berdekatan dengan mesjid, sering kali mesjid terkena sasaran. Akibatnya, Mekah tidak pernah stabil sampai datang pemberontakan baru. Sering dalam satu tahun terjadi peperangan lebih dari satu kali. Pemerintahan yang dapat dikatakan stabil hanya pada masa Barakat, anaknya Abu Numay II, cucunya Hasan; yaitu masa yang tidak lebih dari 80 tahun, di awal masa Turki Usmani I, yang dimulai tahun 1517 itu.
Ketika Hijaz jatuh ke bawah kekuasaan suatu dinasti yang lebih besar dan kuat, nizam al-asyraf selalu dipertahankan tanpa perubahan mendasar. Dari perjalanan sejarah terlihat bahwa Hijaz, sejak masa Fatimiyah sampai masa Mamalik Sirkasia, hampir selalu berada di bawah pengaruh politik Mesir. Hal itu karena, siapa pun yang berhasil menguasai Mesir berkepentingan untuk juga menguasai Hijaz. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa Hijaz letaknya cukup strategis bagi Mesir untuk kepentingan pertahanan dan penyerbuan ke luar. Di samping itu, penguasa Mesir pun berkepentingan untuk menguasai Hijaz karena Mesir menjadi pusat kafilah-kafilah haji dari seluruh Afrika yang harus dijamin keselamatannya. Sementara itu, penguasa Hijaz pun merasa berhutang budi kepada penguasa Mesir karena merekalah yang menyediakan kiswah Ka’bah setiap tahun, di samping dana wakal Mesir yang dibagi-bagikan kepada fakir miskin Mekah.
Pada masa Turki Usmani yang dimulai pada tahun 1517, misalnya penguasa Turki Usmani membiarkan kekuasaan berada di tangan para syarif. Penguasa Turki Usmani di Istanbul, sering kali hanya menunggu berita bencana dan perang saudara, tanpa menguatkan atau menolak salah satu pihak yang bertikai. Mereka hanya menyiapkan penetapan , pengangkatan dan pemecatan sesuai dengan kesudahan perang saudara itu. Meskipun pada masa-masa tertentu ada juga penguasa Turki Usmani yang berpihak kepada salah satu pihak yang sedang berseteru, dasar pemihakan itu tidak jelas. Di ujung abad ke-18, misalnya, orang-orang Usmani kadang-kadang mendukung sebagian syarif, dan memecat dan mengangkat yang lain. Tetapi dalam setiap pergantian kekuasaan, orag yang menggantikan berasal dari kerabat amir yang dipecat itu — bisa anak, ayah, saudara, atau anak pamannya. Bahkan pernah terjadi, seorang syarif dimakzulkan, kemudian diangkat kembali, kemudian diturunkan kembali untuk kemudian diangkat kembali.
Kekuasaan memang selalu diperebutkan oleh siapa pun, kapan pun dimanapun. Juga di Kota Suci dan oleh keturunan Nabi.