Bagi yang pernah membaca Jangka atau Ramalan Jayabaya, pasti menjumpai nama seorang ulama yang hebat sehingga pada abad ke 12 itu disebut sebagai Raja Pandhita, yang berasal dari Negeri Rum. Ulama tersebut bernama Maulana Ngali Syamsujen. Mungkin nama sebenarnya Ali Syamsul Zain atau Syamsuddin. Syekh Syamsujen tiba di kerajaan Kediri dan disambut sebagai tamu yang sangat dihormati oleh Sang Prabu Jayabaya.
Raja Jayabaya yang sakti dan dikenal pandai membaca masa depan, segera menemukan kecocokan dengan sang tamu yang menguasai ilmu falak dan nujum, bahkan selanjutnya mengangkatnya sebagai guru. Ilmu falak dan nujum yang selanjutnya dikuasai Prabu Jayabaya ini, kemudian dituangkan di dalam Kitab Asrar atau Musarar yang berarti Kitab Misteri atau Kitab Rahasia, dipercaya sebagai karangan Sunan GiriPerapen (Sunan Giri ke-3) pada tahun tahun Saka 1540 atau 1618 M, jadi sekitar empat abad setelah masa kehidupan Prabu Jayabaya. Sayang sekali, penulis belum dapat menemukan kitab Musarar versi Sunan Giri tersebut. Ada beberapa versi Kitab Ramalan Jayabaya yang penulis temukan, tetapi dari bahasanya, menunjukkan bahasa Jawa periode sekitar pertengahan abad 18 – 19.
Syekh Syamsujen konon diutus oleh Raja Rum (Persia) untuk menjinakkan tanah Jawa yang banyak dihuni balatentara jin-setan dan raksasa atau dhenawa, yang pada periode-periode sebelumnya telah mengalahkan serta membunuh sekitar 20.000 kepala keluarga rombongan utusan Raja Rum. Besar kemungkinan, istilah dhenawa atau raksasa pada masa itu dipakai untuk menyebut pengikut aliran Bhairawa, yaitu salah satu aliran dalam agama sinkretisme Syiwa-Budha. Salah satu utusan Raja Rum yang lain adalah yang dikenal sebagai Syekh Subakir, yang makamnya berada di berbagai tempat di pulau Jawa, dan dikenal sebagai Makam Dowo (makam yang panjang). Yang dimaksud dengan Rum oleh orang-orang Jawa waktu itu adalah Persia dan bukan Romawi.
Setelah wafat, Syekh Syamsujen di makamkan di Makam Setanan Gedong, kota Kediri sekarang, dengan nama Syekh Syamsuddin al Wasil, sesuai dengan inskripsi yang ada di makam tadi.
Dari inskripsi di makam Fatimah binti Maimun di desa Loran atau Leran (ler adalah bahasa Jawa halus dari kata lor), Gresik, Jawa Timur, yang bertarikh 475H atau 1082M, dapat diketahui bahwa agama Islam sudah masuk ke Jawa jauh sebelum periode Walisongo. Bahkan S.Q.Fatimi dalam Islam Comes to Malaysia (dalam Atlas Walisongo halaman 46) mencatat pada abad ke-10 Masehi, terjadi migrasi keluarga-keluarga Persia ke Nusantara. Yang terbesar dari keluarga-keluarga itu adalah:
1. Keluarga Lor, yang bermigrasi pada masa raja Nasiruddin bin Badr, yang memerintah wilayah Lor – Persia tahun 300H/912M. Mereka tiba di Jawa dan tinggal di daerah-daerah yang kemudian disebut desa Loran atau Leran. Di daerah Gresik juga terdapat nama desa Rumo, yang konon dahulu kala merupakan tempat tinggal orang-orang dari negeri Rum.
2. Keluarga Jawani yang bermigrasi di masa Raja Jawani al-Kurdi sekitar 301H/913M. Mereka tinggal di Pasai, Sumatera.
2. Keluarga Syiah yang bermigrasi pada masa pemerintahan Ruknuddaulah bin Hasan bin Buwaih ad-Dailami sekitar tahun 357H/969M, dan tinggal di Sumatera yang kini kita sebut Siak.
3. Keluarga Rumai dari puak Sabankarah yang tinggal di wilayah timur Sumatera.
Atlas Walisongo juga menggambarkan agama Islam sesungguhnya sudah masuk ke pulau Jawa semenjak abad ke 7 Masehi dibawa oleh pedagang-pedagang dari Timur Tengah dan India, namun masih hanya merupakan agama dari komunitas-komunitas internal mereka sendiri saja, belum berkembang ke masyarakat luas. Islam baru mulai agak berkembang setelah terjadi migrasi besar-besaran muslim Cina dan muslim Campa, yang semakin memperoleh dukungan dari 7 kali muhibah Laksamana Cheng Ho ke Nusantara khususnya ke kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Ma Huan yang mengikuti kunjungan Cheng Ho mencatat dalam buku Ying-yay sheng-lan (dalam Masa Akhir Majapahit, Hasan Djafar, skripsi tahun 1975 yang diolah dan dilengkapi kembali kemudian diterbitkan oleh Komunitas Bambu 2009, halaman 79), di Majapahit terdapat tiga golongan penduduk, salah satunya adalah penduduk muslim. Mereka ini merupakan saudagar-saudagar pendatang dari berbagai kerajaan Barat.
Tidak seperti di jazirah Arab dan sebagian Eropa, agama Islam masuk ke Jawa dengan menghindari pedang dan darah, menghindari kekerasan. Dengan hidayah Gusti Allah Yang Maha Kuasa, para Kyai berdakwah menggunakan media kebudayaan. Prinsip tidak ada paksaan dalam agama (Al-Baqarah: 256) dan serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik (An-Nahl : 125), nampaknya menjiwai metode dakwah pada saat itu.
Kedua ayat di atas, ditambah Surat Yunus : 99 yang berbunyi, “Seandainya Tuhanmu menghendaki tentu berimanlah seluruh orang di muka bumi ini tanpa kecuali. Apakah engkau akan memaksa semua umat manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman?”, mendorong Wali Songo menciptakan simbol dakwah kura-kura yang dalam bahasa Jawa disebut bulus, dimaksudkan sebagai akronim mlebune sarana alus, masuk secara halus tanpa paksaan. Dengan hikmah dan kebijaksanaan. Tapi juga bukan sekedar itu. Pada hemat saya kura-kura adalah salah satu simbol kepemimpinan. Kura-kura hanya bisa berjalan ke depan dengan menjulurkan leher dan kepalanya ke luar. Kalau anda ingin menjadi pemimpin, menjadi imam, khotib dan ustadz, maka anda harus menjulurkan leher dan kepala ke depan. Berjalan di barisan paling depan, memberi contoh dan berani mengambil risiko. Tidak mungkin memimpin dari belakang. Pemimpin adalah teladan, pemberi tuntunan dan bukan pengekor. Gambar bulus juga menunjukkan titik-titik di sajadah, yang menandai posisi persentuhan tubuh manusia dengan tanah tatkala bersujud menyembah Allah.
Untuk itu gambar bulus dipakai menghiasi mihrab mesjid pertama di Jawa yaitu Masjid Demak. Mungkin inilah satu-satunya mihrab yang dihiasi dengan gambar makhluk bernyawa, bahkan binatang. Dan saya yakin, tidak satu pun jemaah salat apalagi imam di Mesjid Demak, yang sujud di bawah gambar bulus, berniat menyembah bulus. Bulus yang dimitoskan sebagai abdi setia para wali, juga dipelihara di sendang (sejenis danau kecil) atau kolam-kolam mata air tempat mengambil air wudu.
Prof.Dr.Slamet Mulyana dalam Pemugaran Persada Sejarah Majapahit halaman 333 – 334 juga mengulas gambar bulus tersebut tapi dengan nama penyu. Di tengah gambar penyu tulisnya, ada gambar yang mewakili kiblat atau mata angin yaitu utara, timur, selatan dan barat. Letak kaki penyu tepat di sela-sela gambar kiblat; jadi mewakili arah timur laut, tenggara, barat daya dan barat laut. Kepala penyu menunjukkan arah utara; ekornya menunjukkan arah selatan. Gambar penyu pada mihrab dapat juga ditafsirkan sebagai candrasangkala, mewakili tahun Jawa 1401 (= 1479 Masehi). Kepala: 1; badan penyu yang bulat: 0; empat kaki penyu: 4; dan ekor penyu: 1. Paling sedikit candrasangkala itu menunjukkan tarikh pembuatan mihrab. Namun sering dihubungkan dengan selesainya pembangunan Masjid Agung.
Ulama-ulama abad permulaan Islam di Jawa, dengan hebat dan berani telah melakukan interpretasi dan transformasi ruh Islam ke dalam bahasa dan budaya Jawa, membentuk peradaban baru, peradaban Jawa yang bernafaskan Islam. Cara yang hampir sama ternyata juga dilakukan oleh para ulama dan juru dakwah di Cina, yang mengajarkan Islam dengan mengambil terminologi-terminologi yang lazim digunakan dalam ajaran-ajaran agama Tao dan Khonghucu. Tokoh sufi Cina Liu Chih, dalam karyanya yang amat terkenal “Menguak Misteri Alam Hakiki” (dalam Gemerlap Cahaya Sufi dari Cina, Sachiko Murata, edisi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Pustaka Sufi, 2003), sebagaimana tokoh sufi Wang Tai Yu, bahkan menghindari penyebutan kata-kata Arab, dengan satu-satunya pengecualian adalah Allah dan Adam, masing-masing sekali.
Ruh Islam yang menjunjung tinggi persamaan derajat dan kedudukan di hadapan Sang Maha Kuasa, segera memperoleh tempat di hati masyarakat Jawa, khususnya penduduk pesisir pantai utara yang sebelumnya dibeda-bedakan dalam kasta-kasta dan derajat sosial ekonomi.
Para ulama melakukan revolusi kebudayaan yang menyeluruh. Seluruh sendi kehidupan masyarakat disusupi ruh Islam. Secara sadar mereka tidak membuat syariat-syariat baru, melainkan memanfaatkan serta mendayagunakan tradisi dan event-event atau agenda masyarakat yang sudah ada. Suatu metode komunikasi massa yang hebat, yang bahkan para ahli komunikasi massa modern banyak yang kurang memahami dan tidak memanfaatkan secara baik.
Prosesi-prosesi terutama yang mengiringi perjalanan kehidupan manusia dari semenjak lahir sampai meninggal tetap dipertahankan dengan diberi ruh Islam, dan dijadikan sebagai sekedar adat serta tradisi, dan bukan syariat. Sesaji-sesaji diubah niat, maksud dan tujuannya menjadi sedekah. Sesaji kepada Dewi Sri, dewa yang menguasai bidang pertanian, diubah menjadi sedekah bumi yang merupakan manifestasi dari zakat pertanian. Sedekah serta silaturahmi sangat dianjurkan. Peristiwa-peristiwa yang bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan orang banyak didorong dan dimanfaatkan sebagai wahana untuk berdakwah.
Kesenian-kesenian asli dikembangkan sehingga lahirlah wayang kulit dan gamelan dengan gending-gending atau lagu-lagu khas Jawa sebagaimana kita kenal sampai sekarang ini. Keris-keris Jawa yang bentuknya berlekuk atau berkelok-kelok dan diisi dengan kekuatan magis dari bangsa jin, oleh empu-empu Islam disederhanakan menjadi “jalan lurus” seperti mata tombak. Para jin diusir dan posisinya di dalam keris digantikan oleh hikmah doa-doa dan asmaul husna.
Yaa Hayuu Yaa Qayyum. (Seri tulisan “Orang Jawa Mencari Gusti Allah”).Tampilkan kutipan teks