Harapan yang tanpa kecemasan adalah kepastian diri yang mengarah kepada kesombongan. Seseorang disebut sesat pada waktu ia yakin berada di jalan yang benar padahal sesungguhnya ia menempuh jalan yang keliru.
Harapan dan Kecemasan
Dengan kata lain, dalam memohon petunjuk ke jalan yang benar itu, dalam ketulusan, kita harapkan senantiasa kepada Allah bahwa Dia akan mengabulkan permohonan kita. Namun pada saat yang sama juga ada kecemasan bahwa kebenaran tidak dapat kita tangkap dengan tepat karena kesucian fitrah kita terkalahkan oleh kelemahan kita yang tidak dapat melepaskan dari kungkungan kecenderungn diri sendiri. “Harap-harap cemas” itu merupakan indikasi kerendahan hati dan tawadhu’ , dan sikap itu merupakan masuknya rahmat Ilahi: “Berdoalah kamu kepada-Nya dengankecemasan dan harapan, sesungguhnya rahmat Allah itu dekat dengan mereka yang berbuat baik (Q. 7:55).”
Jadi, di hadapan Allah nothing is taken for granted — termasuk perasaan kita tentang kebaikan dan kebenaran dalam hidup nyata sehari-hari. Artinya, apa pun perasaan, mungkin malah keyakinan, kita tentang kebaikan dan kebenaran yang kita miliki harus senantiasa terbuka untuk dipertnyakan kembali. Salah satu konsekuensi itu adalah “kecemasan”. Jika tidak begitu maka berarti hanya ada harapan. Sedangkan harapan yang tanpa kecemasan adalah kepastian diri yang mengarah kepada kesombongan. Seseorang disebut sesat pada waktu ia yakin berada di jalan yang benar padahal sesungguhnya ia menempuh jalan yang keliru.
Orang yang demikian itu, lepas dari itikad baiknya, tidak akan sampai kepada tujuan, meskipun menurut Ibn Taimiah masih sedikit lebih baik dripada orang yang memang tidak peduli pada masalah moral dan etika; orang inilah yang mendapatkan murka dari Allah.
Maka diajarkan kepada kita bahwa yang kita mohonkan kepada Allah ialah jalan hidup mereka yang terdahulu, yang telah mendapat karunia kebahagiaan dari Dia, bukan jalan mereka yang terkena murka dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Ini berarti adanya isyarat pada pengalaman berbagai umat masa lalu. Maka ia juga mengisyaratkan adanya kewajiban mempelajari dan belajar dari sejarah, guna menemukan jalan hidup yang benar. (Q. 3:137).
Disebutkan dalam Kitab Suci bahwa salat merupakan kewajiban”berwaktu’ atas kaum beriman (Q. 4: 103). Yaitu, diwajibkan pada waktu-waktu tertentu, dimulai dari dini hari [subuh], diteruskan ke siang hari (zuhur), kemudian sore hari (asar), lalu masa terbenam matahari [maghrib], lalu beberapa saat setelah terbenam matahari (isya).
Hikmah di balik penentuan waktu itu ialah agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi, kemudian saat itu kita istirahat sejenak dari kerja [zuhur] dan, lebih-lebih lagi saat, saat kita “santai” sesudah bekerja (dari asar sampai isya]. Sebab justru di saat santai itulah biasanya dorongan dalam diri kita untuk mencari kebenaran menjadi lemah. Karena itulah ada pesan Ilahi agar kita menegakkan semua salat, tapi terutama salat yang tengah, yaitu asar (Q, 94:7-8).
Bersambung
Penulis: Nurcholish Madjid (Sumber: Panjimas, Oktober 2003)