Meski bukan psikolog dan pakar kepribadian, ibu saya yang hanya seorang guru Sekolah Dasar juga suka mendongeng sebelum tidur untuk anak-anaknya. Di rumah kami, selain ibu ada pengasuh kami, Bude Sastro, seorang Madura tulen, yang suka pula mendongeng.
Jika ibu saya suka tembang-tembang kidung yang sarat dengan ajaran moral, budi pekerti, agama dan filsafat, maka Bude Sastro, senang mengajarkan tembang-tembang permainan kanak-kanak yang gembira dan merakyat seperti: Cublak-Cublak Suweng, Jamuran dan sejenisnya. Demikian pula tentang dongeng. Jika ibu suka mendongeng sejarah, kisah-kisah kepahlawanan serta kesatriaan misalkan keteguhan hati Ratu Sima, Erlangga, Damarwulan, Angling Darmo, Wong Agung Menak, kisah kerajaan Singosari sampai Majapahit, Wali Songo dan sejarah Kadipaten Pati serta kaitannya dengan Mataram, maka Bude Sastro mendongengkan cerita-cerita rakyat antara lain Bawang Merah-Bawang Putih, Timun Emas, Kleting Kuning dan Yuyu Kangkang, Cinde Laras dan sejenisnya. Adapun kami, khususnya saya, menyenangi semuanya.
Betapa besar pengaruh tembang, dongeng dan pengalaman masa kecil sungguh bukan main. Oleh sebab itu benar apa yang dianjurkan oleh para pakar psikologi dan kepribadian dunia seperti Dale Carnegie, Napoleon Hills dan Linda & Richard Eyre, agar para orang tua tekun menanamkan nilai-nilai nurani, nilai-nilai kemuliaan, keluhuran dan keutamaan melalui dongeng tentang tokoh-tokoh idola sebelum tidur. Menanamkan nilai-nilai mulia tersebut melalui berbagai cara, permainan dan pelatihan. Jangan justru seperti sebagian besar masyarakat kita selama ini, menanamkan sifat pengecut dengan mencari kambing hitam kepada anak-anak kita.
Sebagai contoh, anak kita yang baru belajar berjalan terjatuh, kaget dan sakit kemudian menangis. Untuk menghiburnya, sebagian orang tua mengarang cerita atau mencari alasan yang tidak-tidak, misalkan menyalahkan sang kodok nun jauh di sawah. Atau menyalahkan lantai. Menyalahkan bumi tempat kita berpijak, yang selama ini telah dan akan selalu banyak jasanya kepada kita. Ajari dia memahami kenyataan yang sebenarnya. Ajari anak-anak kita berlatih untuk berani mengakui kesalahan atau kelemahannya. Besarkan hatinya agar bangun, melangkah hati-hati dan tidak perlu takut jatuh lagi.
Hal itu pernah sahaya kemukakan dalam acara bedah buku “Kepemimpinan Jawa – Falsafah dan Aktualisasi” yang diterbitkan Bina Rena Pariwara, 23 Februari1998. Selanjutnya oleh penerbit yang sama, ulasan saya tersebut juga diterbitkan dengan judul “Cermin Diri Orang Jawa”, April1998.
Keluarga kami punya pengalaman menarik. Anak kami nomer dua, Wahyu Adhika, ketika itu duduk di bangku SMA sebuah sekolah Islam ternama, suatu hari istri saya dipanggil Kepala Sekolah SMA tersebut, ditegur lantaran anak saya berani melawan dan menantang salah seorang gurunya. Istri saya tak habis mengerti mengapa anak yang sehari-harinya santun itu tiba-tiba bisa liar. Tatkala ditanya mengapa berani melawan guru? Jawabnya karena sang guru pilih kasih bahkan memakinya dengan kata “anjing”. Astaghfirullah.
Ternyata kata “anjing” itulah penyebabnya. Kata-kata itu mengubah seorang anak yang santun menjadi garang dan berani mengambil risiko terburuk. Mengapa? Sebab semenjak kecil kami mengajarkan agar kita menghargai semua ciptaan Allah Yang Maha Mulia, lebih-lebih manusia. Manusia adalah master piece ciptaan Allah yang paling utama. Karena itu kita tidak boleh merendahkan apalagi memaki dengan sebutan binatang.
Ketika masih balita, Wahyu pernah melanggar ajaran tersebut. Ribut dengan kakaknya, Aditya, ia kesal dan memaki kakaknya dengan kata “monyet”. Mendengar itu ia saya tegur. Bukannya berhenti ia bahkan mengulangi makiannya sambil lari naik tangga ke lantai dua, masuk kamar dan mengunci dari dalam. Setelah saya kejar dan saya ketok-ketok pintu agar dia membukanya, namun tetap saja dia menguncinya, saya menjadi kuatir dan mengambil langkah emosional dengan mengerahkan sisa-sisa kekuatan dan jurus permainan silat saya sewaktu muda. Pintu kamar itu saya pukul sampai berlobang sehingga saya bisa membuka kuncinya, dan selanjutnya tidak pernah saya perbaiki sebagai kenangan. Suasana saat itu sungguh sangat mencekam. Rupanya peristiwa itu membekas pada dirinya. Dan kini kami punya kewajiban untuk memperbaiki, menghaluskan dan memodifikasi sedemikian rupa supaya tidak ekstrim.
Sewaktu kisah tersebut diceritakan oleh istri saya kepada para guru, mereka tersentak, terutama guru yang bersangkutan. Setelah suasana menjadi cair, istri saya berkata kepada Wahyu, bahwa pak guru memang salah dengan menghina kita, bahkan sama dengan menghina Gusti Allah yang menciptakan kita. “Tetapi engkau sebagai murid juga salah karena berani menantang guru. Keduanya salah. Tetapi mengingat engkau adalah murid dan lebih muda, maka sudah sewajarnya yang muda minta maaf terlebih dahulu kepada yang lebih tua”. Sesudah peristiwa itu hubungan mereka menjadi akrab.
Pengaruh kidung-kidung Jawa, dongeng dan pendidikan budi pekerti di dalam keluarga, membekas sangat dalam pada diri seseorang. Nilai-nilai nurani dan budi luhur itu bila bertemu dengan nilai-nilai mulia kehidupan Baginda Rasul dan para sahabatnya, khususnya Yang Mulia Abubakar, Umar, Usman, Ali dan juga Umar bin Abdul Aziz sebagaimana tergambarkan dalam sejarah hidup mereka, tergambarkan dalam aneka kisah mengenai turunnya sesuatu hadis, insya Allah akan membentuk akhlak mulia.
Saya bersyukur dapat sering menjadi cengeng bersimbah air mata apabila membaca kisah-kisah mereka. Suatu generasi yang sungguh amat luar biasa, yang saya tak kuasa membayangkan betapa jahiliyah dan jahat masyarakatnya pada waktu itu, jika yang sudah memperoleh sentuhan Islami seperti masyarakat sekarang saja seperti ini.
Suatu generasi yang juga termasuk istimewa adalah generasi Proklamator dan Pejuang Kemerdekaan Indonesia. Hanya beberapa gelintir dari “Bapak-Bapak dan Ibu Bangsa” itu yang bergelar sarjana. Sebagian besar buta huruf dan hanya sedikit yang berpendidikan HIS (setingkat Sekolah Dasar) dan pesantren serta sedikit sekali yang Sekolah Menengah Atas. Akan tetapi semangat patriotismenya, kejujuran dan ketulusan hatinya menggetarkan semangat bangsa-bangsa terjajah lainnya di benua Asia Afrika. Menjadi acuan bagi kebangkitan dan kemerdekaan bangsa-bangsa lain. Subhanallah walhamdulillah. (Seri tulisan “orang Jawa Mencari Gusti Allah”).