Ads
Cakrawala

Makna Intrinsik dan Instrumental Salat (Bagian 2)

Karena merupakan peristiwa menghadap Tuhan, salat juga disamakan dengan mikraj Nabi s.a.w. yang menghadap Allah secara langsung di Sidratul Muntaha.

Maka, makna intrinsik salat diisyaratkan dalam arti simbolik takbir pembukaan itu. Jika disebutkan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah agar mereka menghambakan diri kepada-Nya, maka wujud simbolik terpenting penghambaan itu ialah salat yang dibuka dengan takbr tersebut.

Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkan dengan membaca doa pembuka (du’a al-iftitatah), yaitu bacaan yang artinya “Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Dia yang telah menciptakan seluruh langit dan bumi, secara hanif (kecenderungan suci kepada kebaikan dan kebenaran) lagi muslim (sikap pasrah), dan aku tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik.” (Q.6:79). Lalu dilanjutkan dalam Q. 6:162-163  dengan seruan, “Ssungguhnya salatku, darma baktiku, hidupku dan matiku untuk Allah, Penjaga seluruh alam raya, tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintah, dan aku termasuk mereka yang pasrah (muslim).”

Jadi, dalam salat itu seseorag diharapkan hanya melakukan hubungan vertikal dengan Allah, dan tidak diperkenankan melakukan hubungan horizontal dengan sesama makhluk (kecuali dengan keadaan terpaksa). Inilah ide dasar dalam takbir pembukaan sebagai takbir al-ihram. Karena itu dalam literatur kesufian Jawa, salat atau sembahyang dipandang sebagai “mati sejeroning urip” (mati dalam hidup), karena memang kematian adalah  penghabisan hubungan horizontal sesama manusia, guna memasuki alam akhirat yang merupakan hari pembalasan – tanpa hubungan horizontal seperti pembelaan, perantaraan, ataupun tolong-menolong (lihat Q.S. Al-Baqarah 48, 13, 254).

Selanjutnya, dia yang melakukan salat hendaknya menyadari sedalam-dalamnya posisinya sebagai seorang makhluk yang sedang menhadapi Khalik-nya, dengan penuh keharuan, kesyahduan dan kekhusyukan, seolah-olah melihat Khaliknya, dan kalaupun dia tidak dapat melihat-Nya, ia harus merasakan sedalam-dalamnya bahwa Khaliknya melihat dia.

Itu sesuai dengan makna ihsan seperti dijelaskan Nabi s.a.w. dalam hadis, “Al-Ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan walaupun engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engku.”  Karena merupakan peristiwa menghadap Tuhan, salat juga disamakan dengan mikraj Nabi s.a.w. yang menghadap Allah secaralangsung di Sidratul Muntaha.

Dengan ihsan itu orang yang melaksanakan salat menemukan salah satu makna yang amat penting, yaitu penginsafan diri akan hadirnya Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalan dengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, misalnya:  “Dia (Allah)beserta kamu di mana pun kamu berada, dan Allah Mahateliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan (Q. 57:4)” (Bersambung).       

Penulis: Nurcholish Madjid (Sumber: Panjimas, Oktober 2003

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda