Setelah menemukan kedudukan Tuhan Yang Maha Tinggi, orang Islam Jawa masih terus mencari cara bagaimana dapat berkomunikasi dengan Gusti Allah. Tetapi tatkala pada abad ke – 19 beberapa da’i di Surakarta menanggalkan pakaian adat Jawanya dan mengganti dengan jubah dan gamis Arab, lebih-lebih ketika berkhotbah dan berdoa juga dalam bahasa Arab, tersinggunglah para bangsawan Jawa (lihat Islam Di Mata Anak Priyayi Jawa). Syukur alhamdulillah, mereka sangat hormat serta yakin dengan ajaran-ajaran para Wali Songo, kepada leluhurnya. Jika kita cermati secara seksama, sampai sekarang gambaran tersebut belumlah hilang sama sekali.
Keyakinan itu membuat priyayi-priyayi Jawa melakukan pencarian dan pergulatan pemikiran. Logika sederhana kemudian menjawabnya. Gusti Allah itu Maha Kuasa. Kuasa melakukan apa saja termasuk memahami semua bahasa umat manusia. Bahkan semua bahasa makhluk ciptaannya. Gusti Allah tidak hanya paham bahasa Arab, tapi juga bahasa Inggris, Belanda, Cina, Jepang, Melayu, Jawa dan lain-lain.
Mengapa demikian? Kalau Gusti Allah hanya paham bahasa Arab, maka pasti Dia bukan Tuhannya seluruh umat manusia, bahkan tidak maha kuasa. Gusti Allah adalah Tuhan seluruh makhluk, Tuhan seluruh umat manusia yang maha kuasa untuk memahami, apa pun bahasa yang diucapkan umat-Nya, termasuk bahasa Jawa. Bahkan paham pula bahasa batin. Oleh sebab itu kita bisa dan boleh berkomunikasi, berdoa kepada Gusti Allah dengan bahasa Jawa dan bahasa ibu setiap bangsa.
Apakah kita juga bisa dan boleh salat dengan bacaan salat berbahasa Jawa? Itu soal lain. Kebersamaan itu penting. Simbol-simbol persatuan itu penting. Silaturahim penting. Efek demonstrasi dari simbol persatuan juga penting, maka jangan diubah, jangan diganti. Apa yang tidak boleh diubah? Itulah Ka’bah sebagai kiblat salat serta bacaan salat. Lebih-lebih sudah menjadi ketetapan Al Qur’an dan sunah Kanjeng Nabi Muhammad yang harus dipatuhi.
Orang-orang tua kami percaya, karena Islam merupakan agama yang dibenarkan, diridhoi, dirahmati dan diberkahi Tuhan, maka jika pemeluknya yakin, Tuhan akan menurunkan ilmu-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang berusaha menghafal bacaan salat sekaligus sebagi simbol persatuan dan eksistensi keislaman. Karunia Allah itu terbukti, tidak ada kesulitan dalam menghafalkan bacaan salat dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Arab. Lebih dari itu Gusti Allah menunjukkan kekuasaan-Nya dengan menganugerahi banyak orang untuk mampu menghafal Al-Quran yang begitu tebal, dari masa ke masa semenjak zaman Rasulullah Saw sampai dengan sekarang. Masya Allah.
Demikianlah wahai Sahabatku, terutama yang tidak memahami bahasa dan budaya Jawa, bila ada orang Jawa di suatu malam nan sunyi dan sendiri, mendesah serta merintih dengan hanya dua kata, “Duh Gusti……..”, maka luaslah maknanya. Amat luas sehingga diibaratkan air laut adalah tinta, maka tak akan cukup untuk menuliskan makna penyerahan total, makna penghambaan, makna pengagungan dari dua kata tersebut.
Sementara itu, pencipta manakah yang tak tersentuh perasaannya, melihat karya kesayangannya tergores? Tuhan yang berbudi dan penuh kasih sayang manakah, yang tak tersentuh hatinya manakala mendengar hamba yang dikasihi-Nya merintih?
Itulah hakikat hubungan komunikasi timbal balik antara sang hamba dengan Tuhannya, Allah Yang Maha Kuasa.
Duh Gusti
betapa Paduka nun jauh tak terhingga
namun juga teramat dekat
meski tak dapat disentuh dan diraba
Paduka berada di mana-mana
bahkan di dalam diri hamba
namun sungguh tak berani hamba mengaku
diri hamba adalah Paduka.
Duh Gusti
Paduka adalah abadi
yang dapat berwujud
namun hamba yakin perwujudan itu bukanlah Paduka
bahkan tak mungkin hamba membayangkan
apalagi melukiskan Paduka.
Duh Gusti
hamba ini adalah hamba Paduka
yang nasib, kehidupan dan jiwanya senantiasa dalam genggaman Paduka
oleh karena itu janganlah Paduka tegakan hamba
walau hanya sekejab mata
dan perbaikilah nasib serta kehidupan hamba.
Duh Gusti….. (Seri Kumpulan Tulisan “Orang Jawa Mencari Gusti Allah”).Tampilkan kutipan teks