Wasiyating guru ingkang medharaken ngelmi sasahidan, kaprayogekaken sami anglampahana sampun ngantos anyebut Allah kaisbatna anyebut Pangeran. Kadosto: ing bebasan saking kersanng Allah, isbatipun saking karsaning Pangeran”.(Wirid Hidayat Jati, oleh R. Ngabehi Ronggowarsito)
Wasiat di atas diberikan oleh pujangga Keraton Surakarta Ronggowarsito dalam serat atau kitab Wirid Hidayat Jati, tatkala menjelaskan sekaligus mengajarkan pengamalan dua kalimat syahadat. Artinya kurang lebih sebagai berikut: “Wasiat dari guru dalam menguraikan ilmu persaksian (maksudnya dua kalimat syahadat), seyogyanya dalam pengamalan kehidupan sehari-hari janganlah sampai kita menyebut Allah begitu saja, akan tetapi sebutlah dengan panggilan Pangeran. Misalkan mau mengucapkan atas kehendak Allah, gunakanlah, atas kehendak Pangeran……”
Ronggowarsito adalah pujangga ternama yang oleh para pengamat sosial politik dan kebudayaan, dikenal dengan tulisannya tentang “Zaman Edan”. Ia adalah bangsawan Jawa yang lahir di Surakarta 23 Maret 1802 dan wafat 24 Desember 1873, yang sejak berumur 12 tahun telah masuk menjadi santri di Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo (tetangga desa Gontor). Menjadi santri yang cemerlang, ia sangat disayang sang kyai, yaitu Kyai Hasan Besari. Di kemudian hari para pengagumnya percaya, Ronggowarsito memperoleh anugerah dari Yang Maha Kusa berupa kemampuan menyingkap tirai, hijab, yang membatasi antara hamba dan Sang Pencipta, sehingga mampu melukiskan keadaan-keadaan masa depan melalui beberapa tulisannya, Wallaahu ‘alam.
Mengapa Ronggowarsito menganjurkan untuk tidak menyebut atau memanggil Allah begitu saja ? Allah doang, kata orang Betawi ? Apalagi terhadap Tuhan Zat Yang Maha Kuasa, kepada sesamanya saja orang Jawa memang mengajarkan untuk tidak langsung atau semata-mata memanggil namanya. Memanggil nama saja tanpa embel-embel sebutan penghormatan atau sebutan kasih sayang, dalam bahasa Jawa dinamakan njangkar. Dan orang yang punya kebiasaan njangkar dapat dikategorikan pada orang-orang yang kurang beradab, tidak memiliki sopan santun. Oleh karena itulah para orang tua pada umumnya senantiasa mengajarkan kepada anak-anaknya misalnya:
· Seorang adik memanggil kakak laki-lakinya dengan tambahan sebutan kangmas. Ada kalanya hanya kang saja atau mas saja.
· Seorang adik memanggil kakak perempuannya dengan tambahan sebutan kangmbok atau mbakyu atau mbakatauyusaja.
· Orang yang lebih muda memanggil orang yang lebih tua dengan tambahan sebutan kang atau mas untuk laki-laki dan mbak untuk perempuan, jika usia keduanya tak jauh berbeda. Tetapi jika selisihnya jauh berbeda, panggilannya dengan melakukan penyetaraan ke orang tua si anak. Misalnya jika seorang laki-laki sedikit lebih muda dibanding ayah kita, ayah si anak, maka kita wajib menyebut atau memanggil paman atau paklik, akronim dari pak cilik, bapak kecil.
· Demikian pula sebaliknya, orang yang lebih tua juga tidak boleh njangkar orang yang lebih muda. Kakak harus menambah sebutan dik atau dimas untuk adiknya atau orang yang lebih muda.
Kebiasaan ini diberlakukan bukan hanya terhadap keluarga, tetapi juga terhadap orang lain termasuk pembantu rumah tangga dan anak buah.
Mengapa semua itu mesti dilakukan ? Karena orang-oang tua kami percaya alam semesta dengan segenap isinya ini, adalah ciptaan Tuhan, Zat Yang Maha Pencipta. Lebih-lebih manusia merupakan ciptaan-Nya yang paling mulia. Seperti halnya seorang pelukis yang menyayangi hasil lukisannya, akan bangga jika lukisan tersebut disayangi, dihormati dan dikagumi oang lain. Begitu juga Tuhan, menurut logika orang Jawa senang bila ciptaannya disayangi, dihormati dan dikagumi oleh hamba-hamba-Nya.
Kalau kepada sesamanya saja harus menggunakan tambahan sebutan kehormatan, maka sudah sepatutnya kepada Zat Yang Maha Kuasa, yang tak dapat dilukiskan dan tak dapat dibayangkan kemahaagungan-Nya, kita tidak boleh njangkar, tak boleh hanya menyebut Allah. Seyogyanyalah kita memanggil dengan sebuah gelar yang paling terhormat yaitu Pangeran, atau dengan sebutan tambahan Gusti. Dalam prakteknya kami menyeru atau memanggil Pangeran saja atau Gusti saja atau lebih lengkap Gusti Allah. Kadang-kadang ditambahkan dengan aneka sifat mulia-Nya, misalnya Gusti Ingkang Maha Asih, Gusti Yang Maha Pengasih.
Dengan latar belakang yang seperti itu pula, maka sebagian orang Jawa Islam enggan memberikan nama anaknya dengan asma Allah, meskipun dengan tambahan abdul misalkan Abdul Latief, Abdul Ghafur, Abdurrahman dan sebagainya. Sebab dalam prakteknya kebanyakan orang hanya akan memanggil Latief, Ghafur, atau Rahman saja, sehingga dengan demikian terasa tidak sopan. Lebih-lebih jika dengan konteks serta nada yang buruk atau negatif. Naudzubillah.
Para nabi yang juga sangat dihormati, tidak disebut Gusti tetapi disebut Kanjeng, seperti Kanjeng Nabi Muhammad, Kanjeng Nabi Adam dan sebagainya. Khusus untuk Nabi Muhammad Saw, sebagian oang Jawa juga memilik sebutan lain lagi yaitu Baginda Rasul.
Menurut Rongowarsito, berdasarkan pengalaman, orang yang mengikuti aturan sebutan penghormatan sebagaimana tersebut di atas, pikirannya bertambah terang bahkan sering memperoleh ilham.
Demikianlah, manusia selaku hamba dari Yang Maha Kuasa, bersifat dengan sifat-sifat kekurangan. Keberhambaan dengan segala kekurangan itu harus diakui dan dipahami secara tulus dan total. Harus dapat dilihat dengan mata hati, supaya manusia selalu menyadari keberhajatannya kepada Pangeran, Allah Yang Maha Kaya Lagi Maha Dermawan. Apa saja yang dipikirkan dan dikerjakan oleh manusia, apa pun kebutuhannya, baik tatkala hidupnya maupun setelah mati, memerlukan ridho dan karunia Tuhan.
Di lain pihak Allah bersifat dengan segala keutamaan dan kemuliaan, serta memiliki segala kekuasaan, kehebatan dan keagungan. Hubungan sang hamba dengan Sang Pangeran yang seperti itu tak cukup hanya dilantunkan dengan getaran-getaran bibir, dengan lisan. Tidak cukup hanya dengan ruku dan sujudnya badan, tetapi harus dengan perilaku lahirian yang dituntun oleh kesadaran batiniah.
Sebutan Pangeran atau Gusti, adalah juga perilaku sekaligus kesadaran lahiriah yang menggambarkan keberhambaan yang amat sangat, karena dilandasi oleh kesadaran psiko kultural orang Jawa. Betapa tidak. Jika dengan Gusti Ratu atau Gusti Patih, jika dengan Pangeran Mangkubumi saja orang harus berjalan dengan berjongkok dan menyembah-nyembah, maka dengan Gusti Allah, Pangeran Yang Maha Kuasa, Maha Raja Di Raja, posisinya sudah barang tentu makin tidak berarti. Pada tataran inilah justru komunikasi batin antara sang hamba dengan Pangeran dapat terjalin. Dan jika komunikasi batin telah terjalin, maka diharapkan segala bacaan salat, doa dan zikir, segala tindak tanduk, pikiran, ucapan dan perilaku menjadi lebih mudah diproses sebagai ibadah, karena kesemuanya atau minimal sebagian telah diikuti oleh kehadiran hati. Subhaanallaah walhamdulillaah. (Seri Kumpulan Tulisan “Orang Jawa Mencari Gusti Allah”)
penyebutannya bukan “Pangeran” tapi “Pengeran”