Kamis siang 10 Oktober 2019, masyarakat Indonesia digemparkan oleh berita video penusukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan,Jenderal TNI (Purn) Wiranto di Pandeglang, Banten.
Dengan segera jagad media sosial diramaikan berbagai pendapat, ada yang simpati, ada yang terkesan mensyukuri dan ada pula yang berprasangka itu sebagai skenario Pemerintah untuk bisa memperoleh alasan bertindak represif menjelang pelantikan Presiden, bahkan ada yang menuduh “playing victim”, permainan yang membuat diri pak Wiranto seolah-olah sebagai korban kejahatan.Naudzubillah.
Melihat video penusukan terutama gerakan dan posisi kuda-kuda penusuk, nampak jelas itu bukan main-main melainkan sepenuh tenaga untuk melukai organ penting tubuh manusia. Apalagi disusul dengan jatuh terhempasnya pak Wiranto, seorang prajurit komando. Semoga Allah menolongnya. Amin.
Dalam sejarah Republik Indonesia, kita memang pernah mengalami beberapa kali usaha pembunuhan terhadap Bung Karno, dan mencapai puncaknya dengan apa yang kita kenal sebagai Peristiwa G.30.S yang menewaskan 6 orang jenderal dan seorang perwira pertama TNI, yang kemudian dikenal sebagai “Tujuh Pahlawan Revolusi”.
Masa Pemerintahan Presiden Soeharto selama 32 tahun, boleh jadi merupakan masa-masa teraman bagi pejabat publik khususnya tokoh-tokoh nasional. Para Menteri bisa bepergian ke dalam dan luar negeri hanya dengan seorang teman yang sekaligus menjadi pengemudinya, tanpa ajudan apalagi mobil pengawalan seperti di Era Reformasi sekarang.
Tetapi sejarah Nusantara juga mencatat, pada tahun 1328, Raja kedua Majapahit, Prabu Jayanegara tewas ditusuk oleh tabib sekaligus bhayangkara kesayangannya, Ra Tanca, yang sedang diminta mengobati bisulnya.
Sesudah itu ada kisah sejarah lain yang sangat membekas di benak saya, yang diceritakan oleh guru kelas empat saya yang tiada lain adalah ibu kandung saya sendiri, yakni tewasnya Sultan Trenggana tahun 1546 oleh bujang kanak-kanaknya, yang tersinggung karena “dijenggung” atau ditegur dengan cara menyentuh dan sedikit mendorong kepalanya.
Pada waktu itu tentara Demak yang dipimpin langsung oleh Sultan Trenggana, sedang berada di Panarukan, Jawa Timur, dalam rangka menaklukkan Blambangan. Dalam suatu pertemuan Sultan beberapa kali memanggil sang bujang, namun yang bersangkutan tidak mendengar lantaran asyik mengikuti jalannya pembicaraan pertemuan tersebut. Tatkala ia tersadar dan Sultan “menjenggungnya” ia tersinggung dan secara spontan menghunus pisau serta menusukkan ke Sultan sehingga akhirnya tewas. Ironis sekali.
Menjenggung kepala dalam adat istiadat Jawa dianggap sebagai penghinaan, dan merupakan salah satu contoh perbuatan yang termasuk dalam dua hal yang tidak boleh dilakukan terahadap sesamanya. Dua itu dikenal dengan ungkapan “sedhumuk bathuk senyari bumi sun labuhi pecahing dada wutahing ludira.”. Terjemahannya, menyentuh dahi dan mengambil tanah kita walau hanya sejengkal, akan dilawan meski itu bisa mengakibatkan dada kita pecah dan darah tumpah. Makna luasnya, jangan menghina dan jangan merampas hak orang, dan apabila itu dilakukan tunggulah perlawanan serta pembalasannya.
Di India, Perdana Menteri, Indira Gandhi tewas ditembak oleh dua orang pengawal pribadinya pada 31 Oktober 1984. Anak dari Jawaharlal Nehru itu ditembak saat sedang berjalan menuju kantor dari tempat kediamannya di Ibu Kota India, New Delhi.
Dalam sejarah Islam terutama di masa awal, pembunuhan baik dengan racun maupun senjata tajam juga dialami lima Khalifah. Abubakar, Khalifah Pertama, wafat setahun setelah diracun orang Yahudi. Umar bin Khattab, Khalifah II wafat bertujuh tatkala sedang shalat subuh berjamaah lantaran ditikam penganut agama Majusi. Khalifah III Usman diserbu dan dibantai para pemberontak. Khalifah Ali dibunuh oleh kaum Khawariij tatkala sedang shalat subuh, sementara Khalifah Umar bin Abdulaziz wafat karena diracun oleh pembantunya yang diupah seribu dinar oleh para mantan pejabat Bani Umayyah yang terkena penertiban.
Itu sekedar contoh tokoh-tokoh yang tewas karena pembunuhan baik oleh lawan maupun oleh orang dekatnya. Padahal tidak ada satupun agama yang mengajarkan kasih sayang dan perdamaian, menghalalkan pembunuhan. Apalagi Islam yang diturunkan demi menegakkan rahmat bagi semesta alam dengan segenap isinya (QS: Al-Anbiya’: 107), sangat tegas menggariskan ajaran-ajaran kebaikan seperti menegakkan kebenaran, kejujuran dan kasih sayang, serta membasmi kemungkaran ( QS Ali Imraan : 104,110, 113, 114 serta Al A’raaf :165).
Perihal pembunuhan, seseorang yang Islami di manapun dan apapun kedudukannya, pasti memahami larangan untuk membunuh secara semena-mena, sejalan dengan ayat: “Barangsiapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” (QS: Al-Maidah: 32).
Membunuh satu orang manusia ditamsilkan dengan membunuh semua manusia. Setiap manusia pasti memiliki keluarga, keturunan, dan merupakan anggota masyarakat. Membunuh satu orang, secara tidak langsung akan menyakiti keluarga, keturunan, dan masyarakat yang hidup di sekelilingnya. Maka dari itu, Islam menggolongkan pembunuhan sebagai dosa besar kedua setelah syirik (HR: al-Bukhari dan Muslim). Pelaku pembunuhan akan mendapatkan balasan berupa neraka jahanam, dan Allah akan melaknat serta menyediakan baginya azab yang berat (QS: An-Nisaa: 93).
Tetapi mengapa bekakangan ini pembunuhan serta berbagai tindak kekerasan baik fisik maupun non fisik yang menyakiti sesama hamba Allah sekaligus ciptaannya itu menjadi marak? Mengapa kita saling menghinakan, menyebut manusia ciptaan Tuhan sebagai binatang, berlaku zalim dan sejenisnya? Mengapa kini kebohongan, ketidakjujuran, tidak menepati janji dan keburukan terasa lebih dihargai?
Membangun citra diri dan kelompok adalah hal yang wajar, sepanjang dilakukan dengan berlandaskan etika, moral dan budi baik. Menggalang kemenangan dalam percaturan politik kenegaraan juga sah-sah saja, sepanjang diniatkan dan ditempuh dengan cara-cara yang baik, secara halal dan thoyib.
Namun demikian, sebagaimana kita rasakan dan mulai diakui banyak pihak dewasa ini, karena politik partisan dan kekuasaan maka rakyat mengalami pembelahan. Perebutan politik kekuasan sangat diwarnai oleh dikotomi bahkan berlangsung secara diametral dan frontal, sementara kesenjangan sosial ekonomi nampak semakin kontras, di lain pihak empati kepada kemanusian dan rakyat kecil dirasa kurang.
Pancasila yang hanya ada di Pembukaan UUD tapi tidak ada bahkan prinsip-prinsip dasarnya dilibas dalam batang tubuh UUD, dijadikan slogan “Aku Pancasilais” dan yang lain bukan, bhineka tunggal ika dan yang bukan, ada radikal dan non radikal.
Tentang Pancasila, Ketua Partai Nasdem Surya Paloh dalam kuliah umum di UI, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2019) mengatakan, sekarang terjadi paradoks antara realita dan living realita praktik sistem demokrasi kita. Saat ini, katanya, Indonesia menganut sistem negara kapitalis yang liberal. Dia mengatakan tanpa disadari kebanyakan rakyat Indonesia menganut sistem itu, bukan Pancasila.
“Eh you tahu nggak bangsa kita bangsa kapitalis hari ini? You tahu nggak bangsa kita ini super liberal hari ini? Ngomong Pancasila dimana itu Pancasila, tetapi tanpa kita sadari juga kalau ini emang kita masuk ke dalam tahapan dikategorikan negara kapitalis, oke, negara liberalis, oke,” ucapnya.
Apa yang diungkapkan Surya Paloh dibenarkan oleh politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Eva Sundari. Ia sependapat Indonesia telah menganut sistem kapitalis liberal. Menurut Eva saat ini diperlukan penataan sistem ketatanegaraan yang harus berbasis Pancasila. Tak hanya melulu soal radikalisme saja, sistem ekonomi, sosial dan politik, kata Eva, juga harus konsisten dilandasi Pancasila. “Saya setuju dengan pendapat Pak Surya Paloh, oleh karena penataan sistem ketatanegaraan kita tak boleh terlepas dari character and nation building yang basisnya Pancasila,” ujar Eva kepada reporter Tirto, Kamis (15/8/2019). “Jadi ketika kita serius ngomong tentang radikalisme harus dijawab dengan Pancasila, maka saatnya sekarang sistem politik, sistem ekonomi juga harus ditata dengan menggunakan Pancasila,” tambah Eva. Eva memaklumi Surya Paloh sedang gundah karena sistem politik di Indonesia adalah sistem pasar yang berakibat pada munculnya politik uang. Selain itu, sistem ekonomi juga tak berjalan dengan baik khususnya dalam soal pemerataan ekonomi.
Pendapat dua politisi senior dari dua partai besar ini semoga merupakan awal kesadaran yang baik, terutama tentang perlunya kembali membangun character and nation building, yang akan merupakan landasar moral dan akhlak dalam kehidupan berbangsa dan negara. Sebagaimana pesan filsuf dan ulama besar Al Ghazali, watak dan perangai rakyat merupakan buah dari watak dan perangai para pemimpinnya. Keburukan yang dilakukan orang awam (termasuk korupsi dan kekejaman), hanyalah meniru dan mengikuti perbuatan para pemimpinnya. Karena itu, lanjutnya, rusak rakyat karena rusak penguasa, dan rusak penguasa karena rusak ulamanya.
Semoga itu semua menjadi hikmah bagi kita semua, seraya berdoa munculnya pertolongan Allah bagi bangsa Indonesia yang tengah menanti kepemimpinan baru. Rasullah bersabda, “Apabila Allah berkenan untuk munculnya kebaikan bagi seorang pemimpin, maka Allah akan memperuntukkan baginya menteri-menteri yang jujur, yang bila ia lupa, maka menteri itu akan mengingatkannya, dan bila ia ingat maka menteri-menteri itu akan membantunya. Tapi apabila Allah berkehendak selain itu, maka Allah akan menyediakan baginya menteri yang jahat, yang bila sang pemimpin lupa, maka sang menteri tidak mengingatkannya, dan bila ia ingat maka sang menteri tidak membantunya”, (HR.Abu Daud).
Subhanallah, masya Allah laa quwwata illa billah.