Akan halnya roh orang yang sudah meninggal, faham Jawa percaya sebelum tiba hari kiamat roh tersebut masih berada “di ruang persinggahan atau ruang tunggu” yang disebut alam kubur. Sebagian orang berpendapat roh ini dapat menyaksikan perilaku ahli warisnya di dunia. Ia juga membawa serta berbagai kesaktian dan kekuatan gaib yang dimiliki semasa hidup. Oleh karena itu keturunannya disamping harus tetap berbakti dan menaruh hormat, juga bisa meminta restu dan pertolongan darinya. Dan meminta tolong kepada roh maupun balatentara Tuhan yang gaib, menurut penganut kepercayaan ini adalah perkara tolong menolong di antara sesama hamba Allah, dan tidak berarti menyekutukan Allah.
Mengapa harus melalui perantara? Karena mereka merasa dirinya “kotor dan lemah”, sehingga tidak mungkin bisa berhubungan langsung dengan Gusti Allah. Berdasarkan keyakinan ini, maka orang Jawa banyak melakukan ziarah kubur, terutama ke makam orang-orang yang dianggap sakti dan keramat, misalkan para Wali dan Ulama di berbagai daerah, makam Sultan Agung di Imogiri serta makam Ki Juru Martani di Kotagede, keduanya di dekat Yogya serta makam Butuh dan Kemukus di daerah Surakarta, petilasan Prabu Jayabaya di Kediri dan lain-lain.
Tetapi manifestasi dan kepercayaan tentang benda dengan penjaga gaibnya, makhluk halus dan orang yang sudah meninggal ini bukannya tanpa ekses. Sering terjadi, orang justru lebih memuja benda, makhluk halus dan roh ketimbang Sang Pencipta, Allah Yang Maha Kuasa. Mereka sungguh belum memahami dan menghayati makna, “Hasbiallaahu wani’mal wakiil, cukuplah Allah yang menjadi penolongku”; sebagaimana dulu Kanjeng Nabi Ibrahim berserah diri sekaligus berdoa tatkala dihukum bakar sehingga api menjadi terasa dingin. Juga sebagaimana Kanjeng Nabi Muhammad lakukan sewaktu menghadapi Perang Badar dengan jumlah dan kekuatan musuh yang berlipat ganda.
Ekses itulah yang kemudian sering dikecam oleh orang-orang Islam garis keras khususnya yang berasal dari suku bukan Jawa. Namun, sungguh kecaman keras seperti itu tidak akan sertamerta mengubah sikap orang Jawa, bahkan justru akan menimbulkan perlawanan. Hanya keteladanan disertai sikap lembut nan bijaksana sesuai Surat An Nahl ayat 125 yang insya Allah dapat mengubahnya, “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik pula.”