Ads
Cakrawala

Ya Allah, Mampirlah Ke Indonesia

“Mbok sekali-sekali Allah mampir ke Indonesia, menengok kita yang amnesianya entah sudah menginjak stadium berapa, sampai-sampai lupa bahwa kita sedang sakit luar biasa!” celetuk seorang kawan ‘aneh’, yang tanpa saya ketahui kapan datang dan perginya, kadang begitu saja nimbrung dalam ‘pengajian’ rutin di rumah saya.

“Jangan sembarangan kalau bicara. Pertama, Allah itu ada dimana-mana dan sudah pasti itu termasuk Indonesia. Kedua, Allah itu tidak diikat ruang-waktu sehingga tak perlu ‘keluyuran’ untuk tahu semuanya. Ketiga, Allah itu bukan pejabat atau pegawai atau buruh yang bisa kamu suruh-suruh seenak udelmu! Jadi dari pada mengundang masalah, lebih baik kamu belajar menata kata-kata sebelum berbicara!” sergah saya.

“Itu namanya formalisme keblinger! Bertuhan itu artinya menghadirkan Allah dalam kenyataan, bukan membayangkan Allah dengan imaji-imaji ngawur kita. Shalat, dzikir itu input, untuk menyadari kehadiran Allah di dalam diri. Sedang outputnya adalah kemampuan kita merealisasikan Allah di medan kenyataan hidup! Output inilah yang juga akan dinilai, bukan hanya inputnya!”

“Maksudmu?” tanya saya gelagapan karena tidak menyangka dia bisa begitu fasih mengguncang argumen saya.

“Wah caramu berpikir masih seperti santri yang baru belajar alif-ba-tsa. Begini, kita ambil saja satu contoh: Allah berfirman bahwa shalat itu mencegah keburukan dan kemungkaran. Nah, keburukan dan kemungkaran ini justru bisa kau jadikan ukuran untuk menilai shalatmu. Kalau setelah shalat, dari waktu ke waktu keburukan dan kemungkaranmu tidak berkurang, maka kamu bisa mengatakan bahwa shalatmu tidak beres. Ini karena kamu gagal menyadari kehadiran Allah di dalam dirimu, yang pasti segera disusul dengan kegagalanmu merealisasikanNya dalam medan kenyataan”

“Jangan lupa, soal shalat ini akan jadi pertanyaan pertama di hari kiamat, sebelum pertanyaan-pertanyaan lain! Jadi, kalau outputnya tidak ada, jangan kaget kalau di akhirat kelak shalat itu akan ditamparkan ke wajahmu! Apalagi kalau kenyataannya, shalat tidak membuat keburukan dan kemungkaranmu berkurang, tapi malah menggunung!”

Saya termangu-mangu. Lidah saya tak bisa bergerak untuk mengucap satu katapun.

“Ada lagi sisi lain. Coba renungkan kenyataan bahwa Allah pernah mengatakan pada kalimullah Musa alaihi salam, bahwa Dia sakit dan butuh ditengok. Bukankah itu berarti Allah ‘baru’ hadir secara aktual saat Musa alaihi salam menengok orang sakit yang sebelumnya abai ditengoknya? Nah, bagaimana Allah akan hadir secara aktual kalau kita tak pernah menghadirkanNya dalam dialog dengan kenyataan?”

”Harus diingat, kemampuan kita untuk menyadari kehadiranNya dalam diri dan merealisasikanNya di medan kenyataan, akan membuat kita juga mampu membaca kehadiranNya di mana pun. Dari situ dialog terbangun. Dialog antara kehadiran Tuhan sebagai Aku, dan kehadiranNya sebagai Engkau. Itulah cara menghadirkan Tuhan sebagai Dia dalam kenyataan dunia yang selalu berwatak ganda dan berjodohan.”

Napas saya mulai sesak mendengar serbuan argumen yang sulit saya tangkis. Tapi sejauh ini saya masih tidak tahu kemana arah bicaranya.

“Karena itu jangan heran bila mendengar cerita bagaimana dulu sayyidina Umar radhiyallahu anhu sampai montang-manting mengangkut sendiri karung gandum di punggung, dan mengantarkannya kepada rakyat yang kelaparan. Atau sayyidina Ali Zainal Abidin radhiyallahu anhu yang punggungnya menjadi legam karena setiap malam mengangkut gandum bagi orang-orang yang kelaparan! Lewat mereka, Allah hadir secara aktual sebagai dialog yang intens antara Aku dan EngkauNya dalam arus sejarah!”

“Sekarang mari kita lihat potongan kecil kenyataan ini: berapa banyak ibu yang kelojotan bersama anaknya karena kemiskinan, berapa banyak anak yang putus asa karena malu tidak bisa sekolah, berapa banyak orang yang masih kelaparan di luar sana, berapa banyak orang yang hidupnya semakin payah karena beban hutang yang terus bertambah? Berapa banyak orang yang terhuyung-huyung hidupnya, baik oleh bencana maupun oleh pertengkaran yang diciptakan? Adakah dari kita pernah menengoknya? Adakah para pemimpin kita menengoknya? Memikirkannya pun mungkin tidak, apalagi menengok. Mereka terlalu sibuk bergelut dengan citra bentukannya, sehingga kehabisan waktu untuk menengok rakyat! Sementara kita mabuk pertengkaran sehingga tak lagi mengenal tetangga yang kesakitan. Bagaimana Allah akan hadir sedang kita menolak menghadirkanNya? Inikah kemerdekaan yang kita proklamasikan dengan menyebut ‘atas rahmatNya’?”

Lantas dia mengutip surat Al Kahfi ayat 110: Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan jangan mempersekutukan ibadah kepada Tuhannya itu dengan apapun.

Tanpa melanjutkan kata-katanya, seperti biasa dia ngeloyor begitu saja. Meninggalkan saya yang masih kelimpungan menyerap ucapannya. Pikiran saya mengembara: kalau Allah tak dihadirkan, lantas siapa yang selama ini hadir? Iblis-kah? Setan yang menggejala dalam berbagai rupa ego dan kepentingan? Benarkah demikian? Sungguh, saya belum mampu mencernanya. Cuma, melihat semakin dominannya caci maki dan pertengkaran, tuding menuding dan kebencian, fitnah-menfitnah dan perisakan, telikung-menelikung dan penghancuran, penyebaran virus perusak akal oleh orang-orang bayaran…rasanya kok…

Ah, saya tidak berani melanjutkan.

Tiba-tiba semua terasa begitu jauh dan asing, bahkan untuk sekadar dibayangkan. Saya tergigil, dan hanya bisa bergumam, menggemakan kembali ungkapan kawan saya: Ya Allah, sekali-kali mampirlah ke Indonesia!

Budayawan,tinggal di Pati Jawa Tengah. Pendiri Rumah Adab Indonesia Mulia

Tentang Penulis

Avatar photo

Anis Sholeh Ba'asyin

Budayawan, lahir di Pati, 6 Agustus 1959. Aktif menulis esai dan puisi sejak 1979. Tulisannya tersebar di koran maupun majalah, nasional maupun daerah. Ia aktif menulis tentang masalah-masalah agama, sosial, politik dan budaya. Di awal 1980an, esai-esainya juga banyak di muat di majalah Panji Masyarakat. Pada 1990-an sempat istirahat dari dunia penulisan dan suntuk nyantri pada KH. Abdullah Salam, seorang kiai sepuh di Kajen - Pati. Juga ke KH. Muslim Rifai Imampuro, Klaten. Sebelumnya 1980an mengaji pada KH. Muhammad Zuhri dan Ahmad Zuhri serta habib Achmad bin Abdurrahman Al Idrus, ahli tafsir yang tinggal di Kudus. Mulai 2001 kembali aktif menulis, baik puisi maupun esai sosial-budaya dan agama di berbagai media. Juga menjadi penulis kolom tetap di beberapa media. Sejak 2007 mendirikan dan memimpin Rumah Adab Indonesia Mulia, sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan non formal, penelitian, advokasi dan pemberdayaan masyarakat. Karya lainnya, bersama kelompok musik Sampak GusUran meluncurkan album orkes puisi “Bersama Kita Gila”, disusul tahun 2001 meluncurkan album “Suluk Duka Cinta”. Sejak 2012, setiap pertengahan bulan memimpin lingkaran dialog agama dan kebudayaan dengan tajuk ”Ngaji NgAllah Suluk Maleman” di kediamannya Pati Jawa Tengah mengundang narasumber tokoh lokal maupun nasional.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading