Ads
Tasawuf

Tuhan Di Mata Orang Jawa

Inilah perjalanan hidup saya sebagai anak priyayi abangan dalam mengenal Tuhan. Entah mana yang saya kenal lebih dulu, Gusti Allah atau Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Wenang. Mungkin juga bersamaan. Yang sahaya  masih ingat, mulai disuruh berlatih puasa di bulan Ramadhan oleh kedua orangtua saya semenjak belum masuk Sekolah Dasar. Padahal saya mulai sekolah di usia enam tahun. Jadi saya berlatih puasa bedug pada usia sekitar lima tahun. Disebut puasa bedug karena pada saat bedug zuhur sudah boleh berbuka. Sebetulnya aneh juga istilah tersebut, karena  bunyi bedug sebagai tanda masuk waktu salat fardhu tidak terdengar di rumah saya. Yang terdengar hanyalah bunyi sirine pabrik gula pukul 12.00 sebagai tanda istirahat siang para karyawan. Bunyi sirine itulah yang oleh kedua orangtua saya dianggap sebagai pengganti bunyi bedug dari masjid.

Semenjak puasa, kata Gusti Allah, dimasukkan dalam ingatan saya. Mulai saat itu, sebelum menyantap hidangan makan saya harus mengubah ungkapan terima kasih, dari sebelumnya hanya sembah nuwun bapak-ibu atau terima kasih bapak-ibu, menjadi sembah nuwun Gusti Allah, sembah nuwun bapak-ibu. Selanjutnya kata Gusti Allah menjadi semakin sering saya dengar terutama jika orang tua saya terkejut, kagum, sedang susah atau sakit.

Tetapi sementara itu pula saya juga mulai mendengar cerita wayang. Dalam cerita wayang, tokoh yang jarang sekali muncul tapi paling sakti adalah Sang Hyang Tunggal (Yang Maha Esa) atau Sang Hyang Wenang (Yang Maha Kuasa). Sang Hyang Wenang sangat ditakuti dan dihormati oleh siapa saja, bahkan oleh para Dewa sekalipun. Dengan demikian di benak saya sebagai anak kecil, mulai terekam adanya dua tokoh super gaib dan super hebat yaitu Gusti Allah dan Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Wenang. Di kemudian hari saya tahu ternyata keduanya adalah sama, sebab Sang Hyang Tunggal adalah tokoh tambahan dalam cerita wayang versi dakwah para Wali penyebar agama Islam di pulau Jawa, sebagaimana halnya kisah tentang pusaka yang paling hebat yaitu Jamus Kalimasada atau Dua Kalimat Syahadat.

Hari demi hari saya tumbuh dan hidup sebagai anggota masyarakat Jawa yang agamis dan percaya kepada yang gaib. Secara filosofis mengakui adanya kepercayaan kepada Gusti Allah, Sang Hyang Tunggal, Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Satu bagi seluruh manusia, bahkan seluruh alam semesta. Karena Tuhan itu hanya satu, maka Tuhan dari para pemeluk berbagai agama, hakikatnya adalah Tuhan yang sama. Persoalannya kemudian pada bagaimana jalan serta cara menuju Tuhan yang sama tadi. Memang bisa jadi karena jalan dan cara yang salah, maka yang ditemui bukan Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Wenang, Sang Maha Kuasa, tapi Sang Betari Durga, Dewi Kejahatan dan atau para Jin Peri Perayangan. Tetapi bagaimana pun itu tetap terserah masing-masing, “bagimu agamamu, bagiku agamaku”.

Demikian faham Jawa, menghormati pemeluk agama lain seraya teguh memegang kepercayaan dan agamanya sendiri. Oleh karena itu juga tidak mengherankan jika dalam satu keluarga Jawa, termasuk keluarga ibu dan bapak saya, dijumpai beberapa pemeluk agama yang berbeda.

Dengan prinsip hidup “bagimu agamu, bagiku agamaku” yang seperti itu, orang Jawa menentang bahkan sangat tidak menyukai perilaku kasar, apalagi penggunaan kekerasaan dalam menyeru pada kebenaran bahkan dalam berdakwah. Karena kalaulah kita tidak sama-sama dalam satu agama, maka kita tetap sama-sama sebagai makhluk Tuhan yang harus hidup saling menyayangi sesuai inti ajaran hamemayu hayuning bawono, menjaga kelestarian dan mempercantik alam semesta beserta segenap isinya, atau kurang lebih sama dengan makna rahmatan lil alamin. 

(Seri kumpulan tulisan “Orang Jawa Mencari Gusti Allah’).

Tentang Penulis

Avatar photo

B.Wiwoho

Wartawan, praktisi komunikasi dan aktivis LSM. Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat (1996 – 2001, 2019 - sekarang), penulis 40 judul buku, baik sendiri maupun bersama teman. Beberapa bukunya antara lain; Bertasawuf di Zaman Edan, Mutiara Hikmah Puasa, Rumah Bagi Muslim-Indonesia dan Keturunan Tionghoa, Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Operasi Woyla, Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar, Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 serta Pancasila Jatidiri Bangsa.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading