Cakrawala

Hak dan Kemerdekaan Berkeyakinan

Kekacauan dalam pergaulan hidup kita berbangsa dan bernegara, antara lain karena banyak di antara kita yang terlampau fanatik terhadap dirinya sendiri. Bila mempunyai pendapat, keyakinan, atau pilihan, merasa pendapat, keyakinan, atau pilihannya sendirilah yang benar.

Salah satu ucapan populer Amirul Mukminin Umar ibn Khaththab ialah yang dikatakannya kepada gubernurnya di Mesir, Amr ibn Ash, “Sejak kapan kau menganggap manusia sebagai budak, sedang ia dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka?”

Memang semua manusia dilahirkan merdeka. Dia bebas berkeyakinan, bebas menyatakan pendapat dan keyakinannya, bebas menulis apa saja, bebas menentukan pilihannya, bebas melakukan apa saja yang diyakininya benar. Kebebasan orang hanya dapat dibatasi oleh kebebasan orang lain. Anda bebas berteriak-teriak semau Anda, misalnya, namun bila teriakan Anda itu sudah mengganggu kebebasan orang lain yang ingin beristirahat, misalnya, Anda harus berhenti. Bila tidak, maka Anda akan dicap orang sebagai orang yang belum layak menjalani kehidupan pergaulan yang beradab.

Manusia bebas meyakini keyakinannya sendiri. Tapi ia tidak bebas memaksakan keyakinannya itu kepada orang lain. Memaksakan keyakinan kepada orang lain adalah perbuatan sia-sia. Memaksakan keyakinan juga berarti melawan kekuasaan Allah. Karena yang berhak dan berkuasa memaksa, termasuk memaksa keyakinan, hanya Allah.

Dalam hal ini, Allah sudah memperlihatkan kekuasaan dan keperkasaan-Nya dengan tidak tanggung-tanggung. Para nabi dan utusan-Nyasendiri Ia jadikan contoh. Nabi Nuh a.s., misalnya, tidak bisa memaksakan keyakinannya kepada orang-orang paling dekatnya, istri dan anaknya. Juga Nabi Luth a.s. tidak bisa memaksa istrinya untuk meyakini keyakinannya. Bahkan Rasulullah s.a.w. sendiri yang begitu mencintai dan mendambakan keselamatan semua orang, tidak mampu memberi hidayah bagi keselamatan orang yang dicintainya (baca Q. 28:56). Karena itu Rasulullah s.a.w.  – yang pasti benar keyakinannya—pun tidak memaksakan keyakinannya. “Semua umatku akan masuk surga, kecuali mereka yang tidak mau.”

Bila kita cermati, kekacauan dalam pergaulan hidup kita berbangsa dan bernegara, antara lain karena banyak di antara kita yang terlampau fanatik terhada dirinya sendiri. Bila mempunyai pendapat, keyakinan, atau pilihan, merasa pendapat, keyakinan, atau pilihannya sendirilah yang benar. Bahkan merasa  itu pendapat, keyakinan, dan pilihan Tuhan. Mereka pun tidak hanya meremehkan dan menghina pendapat, keyakinan, dan pilihan orang lain, tapi sering berlanjut ke sikap memusuhi bahkan menghancurkan.

Kita merdeka; boleh memuji setinggi langit pendapat, keyakinan, atau pilihan kita sendiri – seperti kita boleh memuji setinggi langit istri kita sendiri. Namun bila ini kita lanjutkan dengan menjelek-jelekkan pendapat, keyakinan, atau pilihan orang lain – seperti menjelek-jelekkan istri orang lain  – tentu akan mengganggu pergaulan hidup kita. Memang, apabila kita terlalu asyik dan sibuk dengan diri kita sendiri saja, acap kali kita lupa bahwa kita hidup bersama orang lain yang juga seperti kita, memiliki pendapat, keyakinan, dan pilihannya sendiri. Orang lain itu juga berhak, sebagaimana kita, meyakini kebenaran pendapat, keyakinan, dan pilihannya.

Cobalah kita rasakan. Bukankah apabila kita mempunya sikap merasa paling benar sendiri dan menganggap orang lain pasti salah, berarti kita telah membesarkan diri kita  dan mengecilkan orang lain? Bukankah ini sikap takabur yang sangat dibenci Allah? “Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada seberat dzrrah ketakaburan.” (Hadis). Na’udzu billah! Akan lebih gawat lagibila kita ingat bahwa yang paling benar hanya Allah sendiri.

Dalam hal ini, barangkali kita bisa mencontoh sikap tawadu yang diperlihatkan Imam Syafi’i r.a. seperti tercermin dalam pernyataannya: “Pendapat kita benar namun berkemungkinan salah, dan pendapat mereka salah namun berkemungkinan benar.”

Maka saya kira perlu sekali, kembali kita merenung, menggeledah dan menghisab dengan teliti diri kita sendiri, terutama kaitannya dengan kehidupan kita sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Sudah benarkah kita memahami arti kemerdekaan yang sesunguhnya? Sudahkah kita mampu memisahkan antara ghirah keberagamaan kita dengan nafsu angkara kita? Sudahkah kita mampu membedakan antara kehendak kita dan kehendak Allah? Mampu membrdekan antara tugas kekhalifahan kita dan kekuasaan mutlak-Nya? Sudahkah kita benar-benar ber-laa ilaaha illallah, sudahkah kita benar-benar merdeka?

Semoga Allah mengampuni dan menolong kita.***

Penulis: A. Bisri Mustofa (Sumber: Panjimas, Agustus 2003).

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda